A. PRAWACANA
Setiap masyarakat mempunyai norma-norma yang mengatur kehidupan pribadi atau hubungan antar pribadi. Norma-norma yang berlaku diharapkan akan ditaati oleh setiap warga masyarakat agar kehidupan masyarakat berlangsung aman, tertib dan damai. Perilaku yang menyimpang (deviant behavior) dari norma-norma yang berlaku merupakan gejala yang abnormal dan akan menimbulkan problema sosial. Problema sosial semacam itu sering disebut sebagai “penyakit masyarakat” yang harus ditanggulangi.
Sekalipun tidak dikehendaki namun dalam masyarakat selalu muncul penyakit-penyakit masyarakat. Secara “patologi sosial” ada banyak faktor yang dapat menjadi penyebab munculnya penyakit masyarakat. Misalnya faktor ekonomi seperti kemiskinan, penganguran, faktor biologis, lemahnya penghayatan agama, dekadensi moral, budaya, perubahan nilai sosial dan sebagainya.
Tidak ada kriteria baku untuk menetapkan apakah suatu gejala tetentu merupakan penyakit masyarakat atau bukan. Kriteria yang berlaku pada masyarakat satu belum tentu sama bagi masyarakat yang lain, antara kelompok satu berbeda dengan kelompok yang lain. Kriteri itu pada dasarnya sangat relatif dan sangat tergantung pada sikap masyarakat sendiri untuk menentukan apakah suatu perilaku termasuk penyakit masyarakat atau bukan.
Manifest dari penyakit sosial muncul jika terjadi kepincangan (lag) karena adanya ketidaksesuaian antara perilaku dengan norma-norma dan nilai-nilai sosial dalam masyarakat. Sulit menentukan secara tegas gejala mana yang termasuk penyakit masyarakat atau bukan. Sekedar ilustrasi, dalam UU (yang pernah berlaku) No. 13 Tahun 1961 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kepolisian disebutkan bahwa yang dimaksud dengan penyakit masyarakat adalah antara lain : 1) pengemisan; 2) pelacuran; 3) perjudian; 4) pemadatan, pemabukan; 5) perdagangan manusia; 6) penghisapan (woeker); dan 7) pergelandangan.
Masyarakat akan selalu berusaha untuk menanggulangi penyakit tersebut dengan mekanisme dan cara yang mereka anggap efektif. Sistem kontrol sosial internal masyarakat yang bersifat informal seringkali cukup efektif untuk menanggulangi hal tersebut. Pada saat ini kesadaran warga untuk menanggulangi penyakit masyarakat mulai tumbuh berupa munculnya fenomena yang disebut police society (masyarakat polisi). Hal ini sangat penting untuk menimbulkan prevensi dan melakukan deteksi dini terhadap setiap bentuk gangguan kemanan dan ketertiban masyarakat akibat perilaku menyimpang dalam masyarakat.
Dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian (Pasal 3 ayat 1) dikenal juga bentuk-bentuk pengamanan swakarsa yang diadakan atas kemauan, kesadaran dan kepentingan masyarakat sendiri. Hanya saja dalam aktualisasi semangat police society ini sering kebablasan sehingga justru muncul dampak negatif berupa perbuatan melanggar hukum, main hakim sendiri (eigenrichting), peradilan massa, kekerasan, anarkisme dan sebagainya.
B. URGENSI PEMBENTUKAN PERDA
Sebenarnya sudah ada pengaturan dalam KUHPidana terhadap perbuatan yang disebut penyakit masyarakat (antara lain : pengemisan (Ps. 504), pergelandangan (Ps. 505), pelacuran (Ps. 506), mabuk/minuman keras (Ps. 536 – 539), menyabung ayam (Ps. 537) , gambar yang melanggar susila/pornografi (Ps. 532 ay. 3).
Tetapi, pengaturan dalam KUHPidana masih sangat sumir dan ancaman hukumannya sangat ringan. Sehingga KUHPidana tidak akan mampu berfungsi menanggulangi penyakit sosial tersebut. Selain itu, pasal-pasal KUHPidana tidak sesuai dengan nilai sosial dan kultur masyarakat kita.
Dalam rangka penanggulangan penyakit masyarakat diperlukan adanya kejelasan perilaku apa saja yang masuk kategori itu, pengertian dan batasannya, sanksi apa yang dapat dikenakan, siapa yang berwenang menangani perkara itu dan sebagainya. Dalam konteks ini gagasan untuk membuat Peraturan Daerah (Perda) Penanggulangan Penyakit Masyarakat menjadi sangat strategis.
Perda Penanggulangan Penyakit Masyarakat diharapkan akan menjadi instrumen hukum yang jelas bagi pihak yang berwenang untuk melakukan penindakan terhadap para pelakunya. Selama ini banyak perbuatan yang sebenarnya dipandang melanggar norma dan nilai sosial yang berlaku namun tidak ada tindakan dari aparat berwenang karena memang tidak ada atau tidak jelas aturan dan sanksi hukumnya.
Misalnya dalam hal pelanggaran norma susila (pelacuran), aturan yang ada dalam KUHPidana tidak mengkategorikannya sebagai perbuatan yang dapat pidana, yang dapat dipidana hanyalah orang yang melakukan perbuatan mucikari, tetapi pelaku pelacuran (pihak wanita dan pria) tidak dapat dipidana. Menurut KUHPidana, menjadi mucikari itu pun hanya termasuk pelanggaran ketertiban umum, jadi kalau dilakukan secara tertib tidak lagi dapat dikenai sanksi pidana. Demikian juga dengan peredaran minuman keras, dan pornografi, tidak ketentuan yang tegas dalam KUHPidana.
Perda Penanggulangan Penyakit Masyarakat diharapkan dapat memberikan pengaturan hukum yang tegas dan sesuai dengan local content yaitu norma dan nilai sosial lokal masyarakat kota Solo. Ancaman sanksi hukum yang tegas melalui Perda itu diharapkan dapat efektif menanggulangi berbagai bentuk penyakit masyarakat yang saat ini masih marak.
Hanya perlu diingat, untuk mengatasi penyakit masyarakat, kecuali tindakan yang bersifat preventif diperlukan pula tindakan represif yaitu berupa tehnik rehabilitasi. Ada dua konsep tehnik rehabilitasi, yaitu menciptakan sistem-sistem dan program-program yang bertujuan untuk menghukum si pelaku dan pemberian sanksi pidana berupa hukuman bersyarat, hukuman kurungan atau hukuman penjara yang bersifat reformatif agar si pelaku berubah menjadi orang baik (Cressey dalam Soerjono Soekanto, 1990 : 289).
C. PENUTUP
Pembuatan Perda bukan lanhkah akhir untuk menanggulangi penyakit masyarakat, tetapi masih perlu diikuti oleh law enforcement secara tegas dan konsisten. Seringkali setelah peraturan di buat tidak ada upaya pendayagunaan secara konsisten, sehingga hanya menjadi peraturan yang tidur dan tidak mempunyai efek sosial yang diharapkan !.
Solo, 1 Juni 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar