Selasa, 08 April 2008

PENEGAKAN SUPREMASI HUKUM DI ERA REFORMASI

A. PENGANTAR

Salah satu agenda yang diusung oleh gerakan reformasi yang dimotori oleh mahasiswa adalah tuntutan adanya penegakan supremasi hukum. Tuntutan ini sangat wajar mengingat selama tiga dasawasa sebelumnya supremasi hukum hanyalah menjadi jargon dan retorika yang tidak pernah terealiasi dalam kenyataan. Pada masa orde baru hukum hanya menjadi instrumen bagi penguasa untuk melanggengkan dan melegitimasi kekuasaan serta melindungi birokrasi dan eksekutif yang sangat korup. Ketika itu lembaga-lembaga penegak hukum telah dikebiri dan sepenuhnya dibawah kontrol kekuasaan eksekutif sehingga mereka tidak memiliki kemerdekaan dan independensi, serta tak lepas dari intervensi elit penguasa.

Lembaga peradilan bukan lagi tempat untuk mendapat keadilan tetapi sebagai pusat jual beli keadilan, setidaknya keadilan hanyalah milik mereka yang memiliki akses karena didukung oleh sumber daya ekonomi, politik, kekuasaan, atau kekerabatan. Pada saat itu simbol keadilan yang dilambangkan oleh Dewi Themis yang tertutup matanya, seolah sudah membuka selubung penutup matanya, sehingga dia dapat membedakaan manakah orang yang berpangkat atau tidak, berduit atau tidak, mana lembar ratusan ribu atau recehan dan sebagainya sehingga keadilan menjadi pilih-pilih dan diskriminatif.

Dalam penegakan hukum pidana tampak jelas bahwa hukum hanya ibarat “jaring laba-laba” yang hanya mampu menjaring serangga kecil yang tak berdaya, dan jaring hukum itu akan mudah robek dan terkoyak-koyak jika berhadapan dengan binatang yang besar dan kuat. Sekalipun hal itu terkesan sangat menggeneralisasi, namun kebenarannya tidak dapat dinafikan begitu saja.

Banyak fenomena penegakan hukum yang tidak dapat dicerna oleh rakyat. Setidaknya logika hukum masyarakat sulit menerima jika maling ayam begitu mudah dimasukkan penjara, namun hukum menjadi tidak berdaya ketika berhadapan dengan para terdakwa korupsi kelas kakap hanya karena alasan sakit atau sedang berobat ke luar negeri. Tesis downward law is greater than upward law sebagaimana dinyatakan Donald Black (1989 : 11) menjadi tak terbantahkan. Hukum yang mengarah ke bawah akan lebih besar dibandingkan hukum yang mengarah ke atas.

B. PERKEMBANGAN PENEGAKAN SUPREMASI HUKUM

Kini, empat tahun setelah reformasi bergulir ternyata penegakan supremasi hukum masih terkesan jalan di tempat. Sejak pemerintahan Abdurrachman Wachid sampai pemerintahan Megawati hampir tidak ada kemajuan yang berarti. Salah satu tolok ukur yang cukup signifikan untuk melihat sejauh mana penegakan supremasi hukum adalah sejauh mana keberhasilan pemberantasan KKN dilakukan. Harus diakui, di era reformasi ini telah banyak dihasilkan perangkat undang-undang baru. Misalnya, ada Ketetapan MPR No. XI/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN, UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Dari KKN, UU No. 20 Tahun 2001 (merubah UU NO. 31 Tahun 1999) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian dan berbagai UU lainnya. Selain itu, muncul pula lembaga pengawas baru seperti KPKPN maupun Komisi Ombudsman, namun hasilnya masih jauh dari memuaskan.

Secara umum belum terlihat adanya perubahan yang cukup signifikan ke arah penegakan supremasi hukum.

Pelaku KKN masih banyak yang tidak dapat dijerat hukum sehingga menimbulkan rasa ketidakadilan. Fungsi prevensi umum (deterence) dan prevensi khusus melalui penerapan kebijakan penal (sanksi pidana) menjadi nihil, bahkan perilaku KKN ditengara makin meningkat. Jika di masa Orde Baru perilaku KKN hanya merupakan bentuk “perselingkuhan” antara Eksekutif dan Judikatif, kini tengah berkembang menjadi bentuk “cinta segi tiga” antara Eksekutif, Judikatif dan Legislatif.

Kondisi itu sangat mungkin karena reformasi hukum yang telah dilakukan selama ini agaknya masih terbatas pada reformasi di bidang substansi hukum yaitu dengan hanya memperbaharui berbagai UU baru. Pada hal pembentukan UU baru tidak serta merta akan menciptakan penegakan hukum yang baik. Undang-undang yang baik belum tentu menjelma dalam bentuk penegakan hukum yang baik tanpa ada penegak/pelaksana hukum yang baik. Menurut Blumberg (1970 : 5) , the rule of law is not executing. It is tralated in to reality by man in institution. Dan pembuatan peraturan perundangan tidak otomatis menciptakan kepastian hukum kecuali hanya kepastian undang-undang !

Harus diingat bahwa bekerjanya sistem hukum (penegakan hukum) tidak dapat lepas dari tiga komponen yaitu komponen substansi, komponen struktur, dan komponen kultur (Friedman, 1968 : 1003-1004). Dua komponen terakhir ini yang tampaknya masih belum banyak direformasi sehingga penegakan supremasi hukum masih mengecewakan.

Komponen struktur yang mendukung bekerjanya sistem hukum seperti Kepolisian, Kejaksaaan, Kehakiman dan Pengacara masih belum banyak berubah dari pola dan budaya yang diwarisi dari orde baru. Masing-masing institusi tersebut belum memiliki visi yang sama untuk menegakkan supremasi hukum, belum tampak komitmen yang kuat diantara mereka untuk menuntaskan semua pelaku KKN dan kejahatan lainnya sesuai aturan hukum yang berlaku, sehingga hukum benar-benar dihormati dan mampu melindungi masyarakat. Para penegak hukum tampaknya masih sibuk cari makan dengan caranya sendiri-sendiri, sehingga muncul fenomena berupa mafia peradilan, jual beli kasus, jual beli penangguhan penahanan, jual beli SP3, tawar menawar tuntutan, pengacara “hitam”, dan praktek-praktek KKN lain yang masih jalan terus.

Jika penegakan supremasi hukum ingin diwujudkan lembaga penegak hukum harus dilepaskan dari pola dan kultur orde baru yang selama ini telah menjadi mind set aparat penegak hukum. Di samping itu harus dilakukan upaya pembersihan dari oknum yang selama ini menggerogoti wibawa dan citra penegak hukum. Sampai saat ini sistem reward and punishment belum dilaksanakan dengan baik, seharusnya oknum yang jelas terbukti menyalahgunakan jabatan, mengesampingkan hukum dan keadilan, atau melakukan pelanggaran lainnya diberi sanksi yang keras (bila perlu dipecat !) , bukan sekedar dimutasi atau justru dipromosikan. Proses pembersihan institusi hukum harus dimulai dari level atas ke bawah, karena proses pembusukan institusi itu juga dimulai dari atas dan merambat ke bawah.

Harus diingat bahwa peradilan pidana sebagai bagian dari upaya penegakan hukum tidak terbatas pada lembaga pengadilan (hakim). Sistem peradilan pidana merupakan keterpaduan antara sub sistem yang terdiri dari polisi, jaksa , pengadilan dan lembaga pemasyarakatan (Indriyanto Seno Adji, 2000 : 1). Sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system) bertujuan untuk mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi. Sistem tersebut memiliki tiga tahap : a) Pra Pengadilan, yaitu mencegah masyarakat menjadi korban; b) Pengadilan, yaitu menyelesaikan kejahatan yang terjadi dengan memberi putusan yang sesuai dengan rasa keadilan; c) Pasca pengadilan, yaitu agar pelaku tidak melakukan kejahatan atau tidak mengulangi kejahatan tersebut.

C. PERAN SERTA MASYARAKAT

Komponen kultur hukum merupakan bagian lain dari komponen sistem hukum yang masih memprihatinkan, baik dalam tataran institusi penegak hukum maupun masyaraka sendiri. Bahkan dalam beberapa sisi kultur hukum yang berkembang menunjukkan perubahan ke arah degradasi nilai-nilai kemanusiaan yang mencemaskan. Aksi kekerasan, pressure massa, anarkisme, melawan petugas,

Kenyataan yang ada mengindikasikan, ketika hukum dipandang tak lagi dapat ditegakkan sesuai harapan, masyarakat melakukan upaya penegakan hukum dengan cara mereka sendiri melalui bentuk-bentuk pengadilan massa. Kenyataan ini membawa implikasi yaitu apabila hukum positip secara empiris tidak berhasil ditegakkan, atau hukum itu dikesampingkan oleh rakyat maka hukum seakan-akan kehilangan legitimasinya dan kehilangan pula kefektifannya.

Jika fenomena pengadilan massa tak dapat ditanggulangi maka akan timbul kesan bahwa hukum tidak lagi dapat berlaku di masyarakat kecuali hukum massa (mass law) yang diwujudkan dalam peradilan jalanan (street justice). Hal ini jelas bertentangan dengan prinsip negara hukum (recthstaat) yang menghendaki agar semua hukum harus dihormati dan ditegakkan.

Penegakan hukum sangat tergantung pada beberapa faktor yang dapat mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut : a) Faktor hukum atau peraturan itu sendiri; b) Faktor petugas yang menegakkan hukum; c) Faktor sarana atau fasilitas yang diharapkan untuk mendukung pelaksnaan hukum; d) Faktor warga masyarakat yang terkena ruang lingkup peraturan hukum; dan e) Faktor kebudayaan atau legal culture (Soerjono Soekanto, 1986 : 53).

Peran serta masyarakat dalam rangka penegakan supremasi hukum sangat strategis. Semua elemen yang ada di masyarakat memiliki hak dan harus berperan sebagai pengawal jalannya penegakan supremasi hukum. Dalam perundang-undangan secara sumir sudah ada pengaturan mengenai hal tersebut. Misalnya dalam PP No. 68 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta masyarakat Dalam Penyelenggaraan Negara. Demikian Pula dalam PP No. 71 tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi.

Hanya saja dalam PP tersebut peran serta masyarakat lebih bersifat represif, dalam arti peran serta dalam mengungkap kasus, padahal yang tak kalah pentingnya adalah peran serta masyarakat yang bersifat preventif, dalam arti penyadaran dan pemberdayaan masyarakat untuk menumbuhkan budaya anti KKN dan secara bersama-sama memerangi bentuk pelanggaraan hukum.

Pemberdayaan peran serta masyarakat secara represif itu pun masih menghadapi kendala tidak adanya Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi. Seorang yang mengetahui dan melaporkan terjadinya KKN bisa dengan mudah diseret menjadi terdakwa pencemaran nama baik jika akhirnya pengadilan membebaskan terlapor, atau saksi bisa dengan mudah dibunuh karena tidak adanya pelindungan yang efektif dari Polisi.

C. PENUTUP

Sebagai negara yang berdasarkan hukum (rechstaat) dan bukan negara yang berdasarkan kekuasaan (machstaat) (Lihat : Penjelasan UUD 1945) menghendaki agar hukum ditegakkan tanpa pandang bulu dan tidak diskriminatif. Di dalam bahasa hukum, hal tersebut sering disebut dengan istilah supremasi hukum, yaitu hukum ditempatkan pada posisi paling tinggi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, dan senantiasa menjadi tolok ukur dari setiap perbuatan (Moh Jamin, 2000 : 102).

Secara teoritis, supremasi hukum menuntut adanya unsur-unsur yang mencakup : a) pendekatan sistemik, menjauhi hal-hal yang bersifat ad hoc (fragmentaris); b) mengutamakan kebenaran dan keadilan; c) senantiasa melakukan promosi dan perlindungan HAM; d) menjaga keseimbangan moralitas institusional, moralitas sosial dan moralitas sipil; e) hukum tidak mengabdi pada kekuasaan politik; f) kepemimpinan nasional di semua lini yang mempunyai komitmen kuat terhadap supremasi hukum; g) kesadaran hukum yang terpadu antara kesadaran hukum penguasa yang bersifat top down dan perasaan hukum masyarakat yang bersifat bottom up; h) proses pembuatan peraturan perundang-undangan (law making process), proses penegakan hukum (law enforcement) dan proses pembudayaan hukum (legal awareness process) yang aspiratif baik dalam kaitannya dengan aspirasi suprastruktur, infrastruktur, kepakaran dan aspirasi internasional; i ) penegakan hukum yang bermuara pada penyelesaian konflik, perpaduan antara tindakan represif dan tindakan preventif; dan j) perpaduan antara proses litigasi dan non litigasi (Muladi, 2000 : 6).

Jika kondisi-kondisi tersebut dapat dipenuhi cita-cita penegakan supremasi hukum akan daat diwujudkan. Semoga.

Solo, 15 Juni 2002

1 komentar:

Stellarix mengatakan...

Memang keadilan harus ditegakkan, supremasu hukum harus tetap berdiri kokoh agar semuanya dapat mencari info beasiswa dan hengkang ke luar negeri