Pada hari Rabu 3 Januari 2007 Departemen Agama (Depag) genap berusia 61 tahun. Uniknya, Depag adalah satu-satunya departemen yang tidak pernah menyebut dirinya berulang tahun, tetapi menyebut hari kelahirannya itu dengan Hari Amal Bhakti (HAB). Di usianya yang telah cukup matang dan di tengah perkembangan kehidupan jaman yang berubah dengan sangat cepat keberadaan Depag semakin dirasakan urgensinya di samping juga semakin mendapat sorotan tajam dari berbagai kalangan.
Catatan ringan ini dibuat sebagai ”kado” dalam menyambut HAB, sekalipun ”kado” yang diberikan lebih banyak terasa tidak mengenakkan didengar dan dirasa. Perlu disampaikan sebelumnya bahwa ghirah dan nawaitu dalam membuat catatan reflektif ini tidak lain dan tidak bukan sebagai ungkapan cinta dan kasih sayang terhadap Depag dan tidak ada sedikit pun tendensi untuk menyakiti. Namun toh andaikata rasa sakit itu tidak terhindarkan mudah-mudahan dapat menjadi obat yang akan menyehatkan, ibarat balita yang mendapat vaksinasi.
Menurut Komaruddin Hidayat (www.kompas.com, 12 Juli 2002), Departemen Agama Republik Indonesia dibentuk sebagai wadah sekaligus hadiah bagi perjuangan Islam yang telah berjasa bersama kekuatan lain melahirkan Republik Indonesia, 17 agustus 1945. Maka, amat logis bila pemerintah saat itu sepakat membentuk Departemen Agama yang kemudian dimonopoli dan dikendalikan oleh birokrat-birokrat Muslim untuk kepentingan dakwah Islam, baik dalam lingkungan pemerintah maupun masyarakat.
Namun, seiring perjalanan waktu dan perkembangan bangsa yang begitu dinamis, dalam berbagai hal patut dipertanyakan ulang misi dan visi Departemen Agama kini. Apakah Departemen Agama memiliki visi dan misi yang jelas untuk memajukan martabat bangsa dan negara untuk situasi saat ini, atau malah terjerat lingkaran kekuatan politik, kepentingan ekonomi atau sebagai penjaga moral bangsa?
Tak dapat dipungkiri bahwa hingga kini citra departemen yang dikelola para santri (meminjam istilah yang dipakai Snouck Hurgrounje) masih sangat memprihatinkan. Citra yang demikian itu merupakan resultan dari berbagai kondisi yang bersifat internal maupun eksternal. Setidaknya citra negatif itu tidak lepas dari berbagai faktor seperti perilaku para petinggi di departemen, kualitas dan kinerja birokrasi yang ada di dalam, ulah oknum yang tidak bertanggung jawab, peran departemen yang tidak tampak pada saat dibutuhkan masyarakat, kasus-kasus KKN yang terjadi di dalamnya, atau karena ketidakmaupun departemen sendiri dalam membangun citra melalui public relation.
ISU KORUPSI
Badan Pemeriksa keuangan (BPK) pernah melaporkan perihal korupsi di departemen yang cukup menyentakkan. Menurut BPK ada tiga departemen yang paling korup, yakni: Departemen Agama, Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Kesehatan (www.reformasi-institute.com, 6 Desember 2006).
Jika data ini benar tentu sangat ironis, justru korupsi paling besar terjadi di pusat lembaga yang berfungsi sangat vital. Departemen Agama merupakan klinik yang mengurusi kesehatan mental dan berfungsi menyemaikan moralitas peradaban. Departemen Pendidikan bertugas menyehatkan intelektualitas dan Departemen Kesehatan merupakan laboratorium kesehatan jasmani.
Tampaknya kini tak ada lagi kaitan antara nilai-nilai moralitas dan juga agama dalam korupsi. Jarang kaum intelektual/akademisi kampus yang tidak lepas dari korupsi manakala terjun ke dunia politik praktis. Mungkin dapat kita nilai, modernisme yang menjanjikan untuk membangun masyarakat berperadaban (civil society), kedamaian, kemakmuran dan kesejahteraan sosial telah gagal. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dicapai modernisme pada abad ke- 20 telah menjadi malapetaka besar pada abad ke-21 kini. Salah satu ciri manusia modern adalah menginginkan segala sesuatu, kesenangan dan kebahagiaan tanpa harus bekerja keras dan ingin pintas sehingga praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) kian menjadi.
Seruan Albert Einstein yang mengemukakan tesis hubungan signifikan dan pararel antara agama dan modern scientific tidak lagi menjadi paradigma masyarakat modern. Agama tanpa ilmu pengetahuan akan terjebak pada parsialitas pemahaman dan konservatisme. Begitupun bila ilmu pengetahuan tidak diimbangi dengan agama akan terjadi kehampaan spiritual. Kata Albert Einstein, ”Science without religion is lame, religion without science is blind.”
Penilaian Depag sebagai departemen yang sarat dengan korupsi terutama dikaitkan dengan tugasnya di bidang penyelenggaran ibahadah haji. Dengan mobilisasi yang sistemis, konon oknum di Depag berhasil menuai untung yang sangat besar dan prosesi ibadah haji. Ironis tentunya, di saat sebagian besar masyarakat menggalakkan kampanye anti KKN, justru di lembaga ini segala urusan yang berkaitan dengan haji diproyekkan dengan jalan yang bathil, bi ghoiri haqqin. Walhasil, korupsi menjadi pekerjaan reguler yang sistematis. Korupsi, yang dalam Al Qur’an disebut sebagai ”ghulul”, pada dasarnya adalah menyalahgunakan uang negara, uang publik atrau tegasnya uang rakyat, untuk kepentingan pribadai, secara tanpa hak, bi ghairi haqqin. Pemerintahan yang baik (good governance) dalam pandangan Islam adalah pemerintahan yang mampu memenuhi hak-hak segenap warga dan menegakkan keadilan di antara mereka.
DEPARTEMEN AGAMA ATAU DEPARTEMEN HAJI
Selama ini dapat dikatakan Depag lebih identik sebagai departemen haji. Berita yang mengemuka dari departemen yang bermarkas di Lapangan Banteng hanyalah berita mengenai persoalan haji. Depag sering dituduh memonopoli pelaksanaan haji sehingga pelaksanaan haji sehingga rawan dengan KKN. Soal pemondokan jemaah selama di tanah suci pun menuai protes. Fasilitas yang diterima jemaah haji Indonesia masih jauh di bawah haji Malaysia, meskipun biaya yang harus dibayarkan lebih mahal.
Persoalannya, sampai saat ini tak satu pun yang dapat memangkas kewenangan tersebut karena sesuai dengan UU No 17 tahun 1999 tentang Haji, UU itu memberi legalisasi bagi Depag untuk melakukan monopoli. Fungsi monopoli terletak pada fungsi Depag sebagai regulator, pengawas dan pelaksana (operator). Sepanjang haji menjadi monopoli, baik oleh pemerintah maupun swasta, maka urusan itu tidak akan pernah berjalan baik[1]. Begitu semangatnya untuk melakukan monopoli, sampai-sampai Depag pernah memunculkan gagasan tentang pembuatan paspor sendiri, yang tentu saja digugat serius oleh pihak Imigrasi.
Padahal selain mengurusi keberangkatan jemaah haji, banyak masalah yang seharusnya diurus departemen ini. Ambil contoh, masalah konflik agama yang marak terjadi belakangan ini. Entah itu berupa kamuflase atau memang benar konflik agama, gema departemen yang seharusnya bertanggung jawab mengurusi kerjasama antara umat beragama ini kurang terdengar. Konflik yang berlarut-larut di Ambon dan Poso, dapat menjadi contoh betapa departemen ini tidak merespon dengan tepat.
Ketika menghadapi konflik yang selalu melibatkan emosi dan simbol agama, kelihatan Depag tidak memiliki data akurat serta program matang untuk melakukan analisis serta langkah-langkah strategis guna mencari solusi. Padahal, sebenarnya banyak hal yang bisa dilakukan untuk merespons krisis yang melibatkan isu agama yang kelihatannya masih akan terus berlanjut. Diperkirakan, ke depan, emosi agama dan etnis akan makin menguat sebagai pusat gravitasi yang mampu menyedot massa terutama menghadapi pemilihan umum 2009.
Persoalan lain yang sering dilupakan adalah pendidikan, bagaimana pendidikan agama yang selama ini dijalankan disekolah-sekolah. Selama ini banyak yang melihat bahwa pendidikan agama hanya merupakan pengetahuan, semua hanya menjadi hapalan yang berada pada ranah kognitif dan tidak menyentuh ranah afektif dan psikomotorik. Tidak ada langkah konkrit yang diambil untuk memasukkan pelajaran agama sebagai suatu hal yang seharusnya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Kewajiban yang harus dilaksanakan adalah penuntasan wajib belajar (WAJAR) 9 tahun yang dijalankan di madrasah-madrasah maupun di pondok pesantren. Sekitar 20 persen siswa usia belajar diharapkan masuk ke madrasah untuk menuntaskan program Wajar. Saat ini tercatat sekitar 40 juta anak berada di usia itu. Berarti Depag harus melayani 8 juta anak usia sekolah. Kenyataan di lapangan, hanya 10 persen sekolah-sekolah itu dikelola langsung oleh Depag. Sisanya, 90 persen madrasah di kelola swasta yang sebagian besar ada di kelas menengah ke bawah. Dampaknya bisa dilihat madrasah swasta yang dibangun kualitasnya ikut rendah. Dalam hasil Ujian Akhir Nasional (UAN), tingkat ketidak lulusan yang tinggi diperoleh sekolah swasta yang notabene banyak diisi madrasah. Dalam Olimpiade Sains Nasional (OSN) pun kesertaan siswa madrasah jauh tertinggal.
Rendahnya kualitas di madrasah dapat dilihat dari pendidikan guru yang mengajar di sana. Pendidikan guru madrasah dari jenjang ibtidaiyah hingga aliyah yang mempunyai pendidikan tidak sesuai kualifikasi mencapai 49 persen. Bagian terbesar ada di tingkat ibtidaiyah atau setingkat SD, dimana ketidaksesuaian mencapai lebih dari 60 persen.
Apalagi mengingat pendidikan menurut UU No. 32/2005 tentang Pemerintahan Daerah merupakan sektor yang sudah diotonomikan. Sementara lembaga pendidikan di bawah Depag, belum diotonomikan. Persolannya agama selama ini dianggap sektor yang sangat strategis sehingga tidak dapat diotonomikan. Sayangnya , pengelolaan secara pusat yang tidak terorganisir membuat seringkali pengelolaan madrasah di daerah-daerah terbengkalai. Ke depan, perlu dipikirkan untuk mengintegrasikan pendidikan berada di bawah satu atap.
DEPARTEMEN TEKNIS ATAU NON TEKNIS
Berbeda dari departemen lain yang tidak memiliki beban dan predikat moral keagamaan, Depag harus berdiri di atas semua golongan sekaligus memberi ketauladanan. Bila Depag tidak bisa menunjukkan akuntabilitas moral, bahkan terjerembab dalam lingkaran korupsi dan kepentingan golongan atau partai politik maka hal itu amat melukai nurani keagamaan rakyat Indonesia.
Tentu saja, secara pribadi seseorang bebas berafisiasi dengan salah satu kekuatan paartai dan golongan. Namun, begitu duduk dalam jabatan birokrasi negara, seseorang harus mengembangkan sistem meritokrasi dan profesionalisme, terlebih mereka yang duduk dalam jajaran Departemen agama. Ini amat penting mengingat predikat agama harus senantiasa mencerminkan akuntabilitas moral dan sumber pencerahan, terutama di bumi Indonbesia yang religius sekaligus pluralistik ini.
Dalam berbagai forum diskusi, sudah sering dimunculkan agar Depag diubah statusnya menjadi departemen nonteknis, yang dipimpin menteri negara sebagaimana Menteri Lingkungan Hidup. Yang dikelolanya cukup institusi dan kegiatan strategis, yang menyangkut wawasan dan pengembangan keagamaan pada level nasional dan internasional.depag harus mengurangi dan membatasi urusan keagamaan yang diaturna. Depag hanya menjadi lembaga koordinasi dan konsultasi, bukan memonopoli penyelenggaraan urusan agama seperti haj, zakat, pendidikan dan sebagainya.
Dalam hal ini, maka lembaga penelitian, pelatihan, workshop, dan informasi sosial keagamaan menjadi amat vital. Selama ini
Agar struktur Depag lebih langsing dan kinerjanya lebih fokus, kualitatif, dan strategis, menarik didengar berbagai usulan yang pernah muncul. Misalnya, agar urusan haji diserahkan pada BUMN sehingga pelayanannya lebih profesional dan kompetitif, dengan catatan, kinerja BUMN sendiri harus bekerja profesional dan akuntabel.
Berkaitan dengan otonomisasi pendidikan, sekian ratus madrasah, sebanyak 33 STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri) dan 13 IAIN (Institut Agama Islam Negeri) perlu dipertimbangkan untuk diserahkan pada pemerintah daerah bersama masyarakat setempat.
KINERJA BIROKRASI DEPAG
Sekali lagi meminjam istilah Snouk Hurgrounje, departemen yang dikelola para santri ini secara umum kinerjanya masih jauh dari harapan. Visi Departemen Agama[2] yaitu ”Terwujudnya masyarakat Indonesia yang taat beragama , maju sejahtera dan cerdas serta saling menghormati antar sesama pemeluk agama dalam kehidupan bermasyarakt, berbangsa dan bernegara dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia”, maupun Misi Departemen Agama yaitu : 1) Meningkatkan kualitas bimbingan, pemahaman, pengamalan dan pelayanan kehidupan beragama; 2) Meningkatkan penghayatan moral dan etika keagamaan; 3) Meningkatkan kualitas pendidikan umat beragama; 4) Meningkatkan kualitas penyelenggaran haji; 5) Memberdayakan umat beragama dan lembaga keagamaan; 6) Memperkokoh kerukunan umat beragama ; dan 7) Mengembangkan keselarasan pemahaman keagamaan dengan wawasan kebangsaan Indonesia, sampai saat ini masih belum terwujud.
Dengan jumlah pegawai Depag mencapai lebih 220.000 orang (www. humasdepag.or.id) namun kualitas dan kemampuan sumber daya manusia yang menjalankan mesin birokrasi di dalamnya masih perlu ditingkatkan. Pada umumnya birokrasi yang dilakukan oleh Depag terkesan belum profesional dan efisien. Selain harus menjadi departemen semua agama dan menjadi katalisator kerukunan umat beragama, dengan mengurangi dan membatasi urusan agama yang diaturnya maka birokrasi yang dikelola akan semakin efektif dan efisien.
Profesionalisme sumberdaya birokrasi Depag juga masih perlu ditingkatkan dengan manajemen yang modern yang senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pengembangan sumber daya manusia dan sistem pembinaan karir pegawai harus menggunakan merit sistem dan tidak sekedar dilandasi oleh kedekatan personal atau aliran yang tidak obyektif. Sinyal bahwa Depag telah menjadi pasar untuk berebut kekuasaan pernah dikemukakan oleh Gus Dur (www.kompas.com, 25/10/1999).
Manajemen di bidang kehumasan (public relation) pada semua Depag di daerah juga perlu ditingkatkan karena banyak orang yang tidak mengetahui kinerja yang telah dilakukan. Tidak ada salahnya jika Kandepag daerah membuat website masing-masing agar penyebaran informasi dan masukan lebih mudah diakses oleh publik.
PENUTUP
Catatan yang disajikan ini dibuat dengan segala keterbatasan yang ada karena penulis hanyalah outsider dan tidak memiliki pemahaman yang cukup terhadap Depag. Implikasinya, jika ada kebenaran di dalamnya semata-mata dari Allah SWT, dan segala kesalahan bersumber dari pribadi penulis. Semoga Allah SWT mengampuni segala dosa dan kekhilafan hamba-Nya.***
[1] UU ini adalah undang-undang tentang haji yang pertama dibuat. UU ini dilahirkan pada masa Pemerintahan Habibie, yang membuat kebijakan untuk memproduksi undang-undang sebanyak mungkin. Sebagai produk sweeping legislation yang dibuat tergesa-gesa banyak orang yang memanfaatkannya sesuai interest masing-masing. Dalam UU ini nampak bahwa seluruh celah bagi pihak luar telah dikunci, karena segala kewenangan berada di tangan Depag. UU ini mengabaikan prinsip good governance, transparansi dan otonomi serta pelayanan publik. Yang aneh justru hal-hal teknis diatur di dalamnya yang semestiya cukup diatur dengan keputusan menteri, misalnya tentang barang bawaan jamaah.
[2] Dikutip dari Situs Departemen Agama RI (12/6/2006) yang ternyata berbeda dengan Visi dan Misi yang dikutip dalam Profil kandepag Kota Surakarta
1 komentar:
Punta Cana Resort & Casino - Mapyro
Punta Cana Resort & Casino. 제주 출장마사지 3670 S. 충주 출장마사지 Lake 서산 출장안마 Charles Blvd, Las Vegas, NV 89109, USA 논산 출장샵 대구광역 출장샵 Punta Cana Resort & Casino has been in operation since 1966.
Posting Komentar