Mengamati penegakan hukum dalam waktu setahun terakhir hampir dapat dipastikan bahwa semua pihak merasa tidak puas, kecewa bahkan bisa menimbulkan rasa frustrasi. Penegakan hukum (law enforcement) dapat dikatakan tidak mengalami kemajuan bahkan dalam beberapa kasus menunjukkan adanya kemunduran.
Salah satu persoalan mendasar yang menyebabkan penegakan hukum tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya adalah tidak adanya independensi dan otonomi hukum secara empiris (secara normatif mungkin sudah). Dalam kenyataannya, independensi dan otonomi hukum akan sangat lemah terutama jika berhadapan dengan sub sistem politik. Atau dapat dikatakan konsentrasi energi hukum acapkali kalah kuat dari konsentrasi energi politik.
Ketika pemerintahan di bawah rejim orde baru pembangunan ekonomi (dengan prasyarat stabilitas politik) cenderung menjadikan hukum sebagai untuk memfasilitasi kepentingan ekonomi dan stabilitas politik yang mengarah pada otoritarianisme. Dengan demikian hukum menjadi alat justifikasi bagi kepentingan ekonomi dan politik. Hukum yang berlaku saat itu bertipe hukum yang represif (Nonet & Selznick, 1978).
Dalam perkembangannya dewasa ini, era reformasi memberikan kebebasan politik yang besar kepada semua individu maupun kelompok. Bahkan semua konsentrasi energi dan sumber daya diarahkan pada bidang politik yang berakibat politik menempati posisi yang primer dalam kehidupan masyarakat sekarang ini. Pada hal jika kita kembali konsep rechstaat maka hukumlah yang harus menempati posisi perimer dalam konfigurasi sistem sosial yang ada.
Sekarang ini sekalipun sistem kekuasaan yang ada tidak lagi sentralistik dan otoriter namun dalam kenyataannya bukan berarti tidak ada lagi intervensi dan tekanan dari kekuatan politik terhadap hukum. Justru kekuatan politik dan para politisi yang sekarang ini seolah menjadi penguasa tunggal yang dapat berbuat apa saja dan ingin mengatur segala hal termasuk dalam penagakan hukum. Kekuatan politik (di legislatif) seringkali memasuki wilayah-wilayah hukum sehingga penegakan hukum sering mengecewakan bahkan melecehkan rasa keadilan rakyat. Penegakan supremasi hukum yang menjadi tujuan gerakan reformasi menghendaki agar antara legislatif, eksekutif dan yudikatif tidak saling mencampuri otoritas masing-masing.
Sesungguhnya kondisi itu tidak akan terlalu parah jika aparat penegak hukum sendiri memiliki ketegasan, integritas moral, dan keberanian menegakkan independensinya. Masalahnya seringkali justru aparat penegak hukum (kekuasaan yudikatif) sendiri yang memberi peluang masuknya kekuatan eksternal dengan saling membuat bergaining yang bersifat simbiose muatualisma. Ketika era orde baru acapkali penegak hukum (kekuasaan yudikatif) melakukan perselingkuhan dengan kekuasnaan eksekutif. Dan kini perselingkuhan itu menjadi kian sempurna karena dilakukan melalui “cinta segi tiga” antara kekuasaan yudikatif, eksekutif dan legislatif.
Secara politis langkah-langkah pengelola negara saat ini (eksekutif, legislatif, yudikatif) memang sering sulit dipahami oleh rakyat karena banyak ketidakjelasan, membingungkan bahkan membodohi rakyat. Hal ini nampak misalnya dalam hal kebijakan mempertahankan Jaksa Agung MA Rachman yang sudah kehilangan trust di mata publik. Sementara itu, terlihat menonjol saat ini bahwa para pengelola negara menggunakan sikap “aji mumpung” atau takut kehilangan “kesempatan” sehingga muncul sikap menghalalkan segala dan memanipulasi penegakan hukum yang bertentangan dengan prinsip-prinsip rule of law, equality before the law, rechstaat, keadilan, supremasi hukum dan sebagainya.
***
Salah satu tolok ukur yang cukup signifikan untuk melihat sejauh mana penegakan hukum adalah sejauh mana keberhasilan pemberantasan KKN dilakukan. Harus diakui, selama era reformasi telah banyak dihasilkan perangkat undang-undang baru. Misalnya, ada Ketetapan MPR No. XI/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN, UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Dari KKN, UU No. 20 Tahun 2001 (merubah UU NO. 31 Tahun 1999) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian dan berbagai UU lainnya. Selain itu, muncul pula lembaga pengawas baru seperti KPKPN maupun Komisi Ombudsman, namun hasilnya masih jauh dari memuaskan.
Secara umum belum terlihat adanya perubahan yang cukup signifikan ke arah penegakan hukum dan penegakan supremasi hukum. Pelaku KKN masih banyak yang tidak dapat dijerat hukum sehingga menimbulkan rasa ketidakadilan. Kondisi itu sangat mungkin karena reformasi hukum yang telah dilakukan selama ini agaknya masih terbatas pada reformasi di bidang substansi hukum yaitu dengan hanya membuat berbagai UU baru. Pada hal pembentukan UU baru tidak serta merta akan menciptakan penegakan hukum yang baik. Undang-undang yang baik belum tentu menjelma dalam bentuk penegakan hukum yang baik tanpa ada penegak/pelaksana hukum yang baik. Menurut Blumberg (1970 : 5) , The rule of law is not executing. It is tralated in to reality by man in institution. Pembuatan peraturan perundangan tidak otomatis menciptakan kepastian hukum kecuali hanya kepastian undang-undang !
Harus diingat bahwa bekerjanya sistem hukum (penegakan hukum) tidak dapat lepas dari tiga komponen yaitu komponen substansi, komponen struktur, dan komponen kultur (Friedman, 1968 : 1003-1004). Dua komponen terakhir ini yang tampaknya masih belum banyak direformasi sehingga penegakan supremasi hukum masih mengecewakan.
Komponen struktur yang mendukung bekerjanya sistem hukum seperti Kepolisian, Kejaksaaan, Kehakiman dan Pengacara sampai saat ini masih belum banyak berubah dari pola dan budaya yang diwarisi dari orde baru. Masing-masing institusi tersebut belum memiliki visi yang sama untuk menegakkan supremasi hukum, belum tampak komitmen yang kuat diantara mereka untuk menuntaskan semua pelaku KKN dan kejahatan lainnya sesuai aturan hukum yang berlaku, sehingga hukum benar-benar dihormati dan mampu melindungi masyarakat. Para penegak hukum tampaknya masih sibuk cari makan dengan caranya sendiri-sendiri, sehingga muncul fenomena berupa mafia peradilan, jual beli kasus, jual beli penangguhan penahanan, jual beli SP3, tawar menawar tuntutan, pengacara “hitam”, dan praktek-praktek KKN lain yang masih jalan terus.
Jika penegakan supremasi hukum ingin diwujudkan lembaga penegak hukum harus dilepaskan dari pola dan kultur orde baru yang selama ini telah menjadi mind set aparat penegak hukum. Di samping itu harus dilakukan upaya pembersihan dari oknum yang selama ini menggerogoti wibawa dan citra penegak hukum. Sampai saat ini sistem reward and punishment belum dilaksanakan dengan baik, seharusnya oknum yang jelas terbukti menyalahgunakan jabatan, mengesampingkan hukum dan keadilan, atau melakukan pelanggaran lainnya diberi sanksi yang keras (bila perlu dipecat !) , bukan sekedar dimutasi atau justru dipromosikan. Proses pembersihan institusi hukum harus dimulai dari level atas ke bawah, karena proses pembusukan institusi itu juga dimulai dari atas dan merambat ke bawah.
Budaya hukum yang berkembang sebagai salah satu pendukung sistem hukum tidak terlalu kondusif bagi upaya penegakan hukum. Pejabat penyelenggara negara sendiri yang diharapkan memberikan keteladanan bagi masyarakat kerapkali menerapkan prinsip “semua bisa diatur”, kebiasaan tidak mentaati bahkan melanggar hukum. Sebagai ilustrasi, menurut catatan KPKPN saat ini baru 42,7 % pejabat penyelenggara negara yang menyerahkan daftar kekayaannya pada komisi tersebut. Ironisnya untuk anggota DPR, bupati, atau gubernur tidak dapat dikenakan sanksi karena bukan PNS dan jika diminta jawabannya menggunakan argumen politik (SOLOPOS, 31/12/2002).
***
Penegakan hukum sangat tergantung pada beberapa faktor yang dapat mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut : a) Faktor hukum atau peraturan itu sendiri; b) Faktor petugas yang menegakkan hukum; c) Faktor sarana atau fasilitas yang diharapkan untuk mendukung pelaksnaan hukum; d) Faktor warga masyarakat yang terkena ruang lingkup peraturan hukum; dan e) Faktor budaya atau legal culture (Soerjono Soekanto, 1986 : 53).
Peran serta masyarakat dalam rangka penegakan supremasi hukum sangat strategis. Semua elemen yang ada di masyarakat memiliki hak dan harus berperan sebagai pengawal jalannya penegakan supremasi hukum. Dalam perundang-undangan secara sumir sudah ada pengaturan mengenai hal tersebut. Misalnya dalam PP No. 68 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta masyarakat Dalam Penyelenggaraan Negara. Demikian Pula dalam PP No. 71 tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi.
Hanya saja dalam PP tersebut peran serta masyarakat lebih bersifat represif, dalam arti peran serta dalam mengungkap kasus, padahal yang tak kalah pentingnya adalah peran serta masyarakat yang bersifat preventif, dalam arti penyadaran dan pemberdayaan masyarakat untuk menumbuhkan budaya anti KKN dan secara bersama-sama memerangi bentuk pelanggaraan hukum. Di samping peran serta melakukan kontrol sosial dan pemantauan terhadap kinerja aparat penegak hukum.
Pemberdayaan peran serta masyarakat secara represif itu pun masih menghadapi kendala tidak adanya Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi. Seorang yang mengetahui dan melaporkan terjadinya KKN bisa dengan mudah diseret menjadi terdakwa pencemaran nama baik jika akhirnya pengadilan membebaskan terlapor, atau saksi bisa dengan mudah dibunuh karena tidak adanya pelindungan yang efektif dari aparat.
Mengurai keruwetan kondisi penegakan hukum yang ada memang tidak semudah membalik telapak tangan, karena banyak faktor yang terkait dan kompleksitas persoalan yang ada di lapangan. Yang pasti untuk membuka prospek penegakan hukum yang lebih baik diperlukan political will dari pihak ekskutif, legislatif, yudikatif dan masyarakat sendiri. Di sini aparat penegak hukum (pengadilan) memiliki peran sentral karena lembaga peradilan menjadi benteng terakhir (the last fortress) dalam menegakkan kebenaran dan keadilan, dan sesungguhnya pemerintahan yang bersih harus dimulai dari peradilan yang bersih (clean goverment begin at clean yudiciary). ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar