Senin, 14 April 2008

REVISI UU PEMDA & CALON PERSEORANGAN


Rapat Paripurna DPR RI di Gedung Nusantara II DPR Jakarta, Selasa (01/04/08) , secara aklamasi mengesahkan perubahan kedua atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda). Revisi (terbatas) UU Pemda ini akan menjadi lembaran baru bagi demokrasi dinegeri ini karena membuka peluang bagi keikutsertaan calon independen atau calon perseorangan, yaitu calon yang diusung dan didukung non partai dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) pasca keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 5/PUU-V/2007.

Di samping mengatur tentang calon perseorangan, dalam Revisi UU Pemda juga membawa kemajuan signifikan dengan adanya pengaturan lain berupa soal batas usia calon kepala derah, ketentuan bahwa incumbent (calon kepala daerah yang sedang menjabat) harus mengundurkan diri dari jabatannya, dan pengalihan penyelesaian sengketa dari MA ke MK. Diharapkan dengan adanya aturan baru itu akan dapat meningkatkan kualitas proses dan hasil pilkada lebih baik lagi.

Revisi UU Pemda memang telah membuka peluang masuknya calon perseorangan dalam pilkada. Namun jika diprediksi implementasinya, keberadaan calon perseorangan dalam pilkada masih sulit untuk terealisasi. Mengapa? Ada beberapa faktor dalam perubahan undang-undang tersebut yang masih menyisakan persoalan.

Selasa, 08 April 2008

KAJIAN SOSIOLOGI HUKUM ATAS PERATURAN BERSAMA MENTERI AGAMA DAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 9 TAHUN 2006 / NOMOR 8 TAHUN 2006 TENTANG PELAKSANAAN TUGAS

KAJIAN SOSIOLOGI HUKUM ATAS PERATURAN BERSAMA MENTERI AGAMA DAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 9 TAHUN 2006 / NOMOR 8 TAHUN 2006 TENTANG PELAKSANAAN TUGAS KEPALA DAERAH/WAKIL KEPALA DAERAH DALAM PEMELIHARAAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA, PEMBERDAYAAN FORUM KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DAN PENDIRIAN RUMAH IBADAH[1]

Oleh : Moh Jamin[2]

Tidak dapat dipungkiri, perkembangan pembangunan dalam berbagai bidang, selain membawa kemajuan dan mendinamiskan kehidupan sosial masyarakat, juga membawa dampak tersendiri terutama dalam penataan kehidupan yang harmonis sesuai adat, tradisi dan kearifan –kearifan lokal serta harmoni lingkungan. Pada sisi lain dinamika perkembangan sosial yang berubah cepat akibat reformasi dan globalisasi, serta kemajuan teknologi komunikasi (media massa) berdampak pada merosotnya integritas dan moral masyarakat, serta makin berkurangnya peran figur sentral dan figur moral di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Hal ini pada gilirannya, dapat mengundang timbulnya berbagai reaksi sosial yang berbeda atau bertentangan dengan moral agama di kalangan masyarakat.

Di lingkungan internal masing-masing kelompok agama, masih terdapat ekspresi dan perilaku keagamaan sempit dan dipandang kurang mengembangkan ajaran-ajaran agama yang bersifat inklusif, selain terkadang masih dirasakan terjadi kecurigaan yang berlebihan dari aparat pemerintah terhadap para ustad/dai.

Di tingkat grass root masih terdapat isu-isu yang cenderung provokatif yang terkadang berpengaruh pada sebagian masyarakat sehingga dapat menimbulkan sikap saling curiga. Sementara itu, sikap memandang atau menilai agama orang lain berdasarkan kriteria keyakinan agamnya sendiri, selain tidak menghargai keyakinan orang lain, juga dapat memicu munculnya rasa kurang senang atau bahkan antipati antar kelompok agama.

Pemberitaan pers kadang juga dipandang oleh sebagian masyarakat masih mengeksploitasi permasalahan antar kelompok tanpa mempertimbangankan dampak yang ditimbulkannya pada segi-segi keamanan dan keharmonisan hubungan antar kelompok masyarakat.

Kebijakan Pemerintah yang dirasakan oleh sebagian masyarakat kurang mencerminkan keadilan dan lemahnya penegakan hukum berpotensi terhadap timbulnya ketidak harmonisan hubungan antar kelompok sosial dan umat beragama, maupun hubungan antar umat beragama dengan pemerintah. Ketidak adilan dan kesenjangan sosial, ekonomi, hukum dan politik sering menimbulkan dan mempermudah elemen luar masuk sehingga dapat memicu terjadinya konflik antar kelompok dalam masyarakat. Perebutan lahan antar pendatang dan penduduk yang menetap lebih dulu merupakan potensi yang dapat berkembang menjadi marjinalisasi kelompok-kelompok sosial yang dan kemudian dapat berpotensi menjadi konflik antar kelompok-kelompok sosial yang mungkin saja kebetulan juga mewakili kelompok-kelompok keagamaan. Otonomi daerah menimbulkan wajah ganda; di satu sisi sangat bermanfaat bagi warga setempat dalam upaya mengembangkan diri, namun di sisi lain juga berpeluang bagi tumbuhnya sikap primordialisme dan ketertutupan.

Kurangnya komunikasi antar tokoh/ pemuka agama, dipandang dapat berpengaruh terhadap ketidak harmonisan hubungan antar kelompok masyarakat dan kurang dapat berfungsinya peran antisipasi pencegahan kesalahpahaman antar kelompok, terutama di tingkat kecamatan dan pedesaan. Persoalan pendirian rumah ibadah yang kurang memenuhi prosedur, penyiaran agama, dan aliran-aliran sempalan di lingkungan internal kelompok agama masih dirasakan sebagian masyarakat sebagai gangguan dalam membangun hubungan umat yang harmonis.

Dari latar belakang kondisi yang dipaparkan di atas maka diterbitkannya Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 / Nomor 8 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama Dan Pendirian Rumah Ibadah (selanjutnya disebut Peraturan Bersama 2006), diharapkan memberikan kejelasan tugas kepala daerah dan institusionalisasi forum lintas agama sekaligus, secara substansial lebih memperjelas peraturan lama tentang persyaratan dan prosedur pendirian rumah ibadah yang sebelumnya telah diatur dalam Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 01/BER/MDN-MAG/1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan Dalam Menjamin Ketertiban Dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan Dan Ibadat Agama Oleh Pemeluk-Pemeluknya.

Peraturan Bersama 2006 merupakan produk hukum yang bersifat ”moderat” setelah sebelumnya muncul wacana pemerintah untuk menyusun UU Kerukunan Umat Beragama[3] yang digagas oleh departemen agama yang mendapat reaksi penentangan cukup keras dari berbagai kelompok agama[4] (baca : Pikiran Rakyat 26/2/2004, Kompas 13/11/2003, Tempointeraktif, 28/4/2004)

Dalam rangka mengkaji secara sosiologis Peraturan Bersama 2006 maka produk hukum tersebut dalam perspektif makro. Artinya, hukum harus dilihat sebagai suatu sistem yang utuh, dimana hukum itu hidup dalam suatu interaksi antara berbagai faktor pendukungnya. Lawrence Meir Friedman mengatakan bahwa a legal system an actual operation is complex organism in which substance, structure, and culture interaction (Lawrence M Friedman, 1979 : 11-16).

Komponen pendukung bekerjanya sistem hukum meliputi substansi, struktur, dan budaya. Komponen substansi, ialah materi regulasi dalam sistem hukum yang berlaku. Komponen struktur, ialah kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum itu dengan berbagai macam fungsinya dalam rangka mendukung bekerjanya sistem hukum. Komponen kultur, ialah nilai-nilai yang merupakan pengikat sistem itu serta menentukan tempat bagi bekerjanya sistem hukum itu di tengah-tengah kultur masyarakat secara keseluruhan.

SUBSTANSI PERATURAN BERSAMA 2006

Terlepas dari siapa yang ada di balik penyusunan[5] Peraturan Bersama 2006 tersebut, sebagai produk hkum yang dibuat oleh menteri maka peraturan tersebut menjadi tanggungjawab pemerintah sebagai pihak yang menerbitkannya. Sebagai produk hukum sekaligus kebijakan publik tentu saja selalu memunculkan pro dan kontra. Maka tidak aneh jika ada pihak dan beberapa anggota DPR yang tidak setuju dan menentang peraturan tersebut karena justru akan melahirkan fragmentasi dan deskriminasi (Kompas 25 Maret 2006).

Terlepas dari pro dan kontra tersebut, Peraturan Bersama 2006 yang terdiri dari dari 6 Bab, dan 31 pasal, secara substansi memiliki beberapa titik krusial yang patut dicermati.

Pertama, dalam Peraturan Bersama 2006 tidak ada kejelasan yang dimaksud dengan pemberdayaan dan dalam peraturan tersebut, istilah pemberdayaan diartikan dalam berbagai konteks seperti tercantum dalam Pasal 23, 24, 25. Dan 26. Pasal 26 misalnya menyebutkan “Belanja ………., pemberdayaan FKUB didanai dari APBD kabupaten/kota”. Agak aneh jika yang dibiayai adalah pemberdayaannya dan bukan kegiatan atau operasional FKUB. Padahal pemberdayaan (empowerment) secara konseptual mengandung dua kecenderungan. Yaitu proses memberikan atau mengalihkan sebagaian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar invidu menjadi lebih berdaya, dan upaya membangun asset material guna mendukung pembangunan kemandirian mereka melalui organisasi[6].

Kedua, Pasal 12 Peraturan Bersama 2006 menyebutkan ketentuan lebih lanjut mengenai FKUB dan Dewan Penasehat FKUB provinsi dan kabupaten/kota ditaur dengan Peraturan Gubernur. Sayangnya dalam Peraturan Gubernur Jateng No. 108 Tahun 2006 tentang Pedoman Pembentukan FKUB dan Dewan Penasehat FKUB Jawa Tengah sama sekali tidak memberi kejelasan dan pengaturan lebih lanjut, justru Pergub tersebut hanya mengulang kembali (copy paste) ketentuan yang sduah ada dalam Perber 2006. Harusnya Pergub tersebut member kejelasan teknis operasional yang terkait dengan pembiayaan untuk permberdayaan FKUB dalam APBD, bentuk fasilitasi pemerintah daerah terhadap FKUB dan sebagainya.

Ketiga, dalam Peraturan Bersama 2006 ini pendirian rumah ibadah selain harus memenuhi syarat administrasi dan teknis bangunan, juga harus memenuhi syarat khusus, yakni daftar nama dan KTP pengguna rumah ibadah minimal 90 orang. Selain itu harus ada dukungan warga setempat minimal 60 orang, yang disahkan lurah/kepala desa, dan rekomendasi kepala kantor departemen kabupaten/kota dan FKUB kabupaten/kota (vide : Pasal 14). Yang perlu dicermati sejauh mana kekuatan masing-masing rekomendasi dari Depag dan FKUB, ini penting jika ternyata rekomendasi keduanya ternyata berbeda. Jika rekomendasi FKUB menolak pendirian rumah ibadah apakah mungkin kantor departemen agama tidak mengindahkan dan justru memberi rekomendasi sebaliknya. Hal ini penting diperjelas karena jika mengikuti prinsip “pemberdayaan” FKUB semestinya rekomendasi yang dihasilkan memiliki kekuatan moral yang bersifat mengikat.

Keempat, Pasal 15 menyebutkan rekomendasi FKUB merupakan hasil musyawarah dan mufakat dalam rapat FKUB. Ketentuan harus hasil musyawaah dan mufakat ini dapat melahirkan tirani oleh minoritas ketika ada satu orang anggota FKUB yang menentang pendirian rumah ibadah tertentu sehingga mufakat tidak akan pernah tercapai. Akan lebih adil dan demokratis jika ketentuan tersebut memungkinkan digunakan voting dalam hal tidak tercapai mufakat dalam rapat FKUB.

Kelima, pada Pasal 16 Peraturan Bersama 2006 disebutkan bahwa bupati/walikota memberikan keputusan paling lambat 90 hari sejak permohonan pendirian diajukan. Jika lewat waktu tersebut tidak ada keputusan apa konsekuensi hukumnya, di sini tidak ada kejelasan sehingga dalam implementasi dapat menimbulkan problem tersendiri.

STRUKTUR HUKUM

Dalam Peraturan Bersama 2006 diatur adanya institusi yang dibentuk untuk membangun, memelihara dan memberdayakan umat beragama untuk kerukunan dan kesejahteraan yaitu Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan Dewan Penasehat FKUB di propinsi dan kabupaten/kota. Dalam Ketentuan Umum angka 6 Peraturan Bersama 2006, dinyatakan bahwa FKUB adalah forum yang dibentuk oleh masyarakat dan difasilitasi oleh pemerintah dalam rangka membangun, memelihara dan memberdayakan umat beragama untuk kerukunan dan kesejahteraan.

Sekalipun dibentuk oleh masyarakat namun wajah FKUB versi Peraturan Bersama tersebut tidak dapat terhindar dari wajah birokratis dan struktural sebagai kepanjangan tangan pemerintah daerah, mengingat FKUB mendapat SK pengangkatan dari bupati/walikota. Di Kota Surakarta, walikota telah menerbitkan Keputusan Walikota No. 450/20/1/2007 tentang Pembentukan FKUB dan Dewan Penasehat FKUB Kota Surakarta. Secara sosiologis wajah struktural FKUB makin kental ketika mereka juga harus dilantik oleh walikota. Bahkan secara yuridis sifat struktural FKUB tak dapat dipungkiri lagi ketika dalam Keputusan Walikota Surakarta No. 450/20/1/2007 mengharuskan FKUB untuk melaporkan hasil kegiatan kepada walikota dengan tembusan kepada Dewan Penasehat (vide : Diktum Kedua, angka 6).

Mengingat pembentukan FKUB dilakukan oleh masyarakat dan hanya difalitasi pemerintah idealnya penetapan FKUB tidak memerlukan legalitas dalam bentuk keputusan walikota/bupati. Secara psikologis pengangkatan oleh kepala daerah dan kewajiban melaporkan akan menimbulkan kekhawatiran berkaitan independensi lembaga tersebut.

Peraturan Bersama 2006 juga mengandung keanehan karena FKUB yang dibentuk ternyata tidak ditentukan masa kepengurusan, dan hal itu ternyata juga tidak mendapat pengaturan lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur Jateng No. 108 Tahun 2006 tentang Pedoman Pembentukan FKUB dan Dewan Penasehat FKUB Jawa Tengah. Demikian juga dalam Keputusan Walikota Surakarta No. 450/20/1/2007, FKUB yang dibentuk tidak dibatasi masa berlakunya, sehingga dapat ditafsirkan bahwa masa kepengurusan FKUB berlaku untuk selamanya.

Sementara itu susunan keanggotaan Dewan Penasehat FKUB Kota Surakarta ternyata berbeda dengan yang ditentukan oleh Peraturan Gubernur Jateng No. 108 Tahun 2006. Menurut Pasal 5 ayat (4) Pergub tersebut anggota Dewan Penasehat FKUB hanya terdiri dari tiga instansi yaitu Kepala Dinas Kesejahteraan Sosial kabupaten/kota, Kepala Informasi dan Komunikasi kabupaten/kota dan Kepala bagian Sosial Sekretariat Daerah kabupaten/kota. Sedangkan di Kota Surakarta anggota Dewan Penasehat FKUB lebih gemuk yaitu terdiri dari lima instansi : Kepala DKRPP dan KB Kota Surakarta, Kepala Dinas Tata Kota Surakarta, Kepala bagian Pemerintahan dan Otda Kota Surakarta, Kepala Bagian Hukum dan HAM Setda Kota Surakarta, dan Kepala Seksi Hubungan Antar Lembaga Kantor Kesbanglinmas Kota Surakarta.

BUDAYA HUKUM

Budaya hukum (legal culture) yang berada di belakang bekerjanya Peraturan Bersama 2006 harus diakui belum sepenuhnya kondusif. Budaya hukum yang berkembang yang tentu tidak lepas dari pemahaman agama masing-masing, dan kenyataannya budaya hukum yang berkembang justru berpotensi menghambat efektifitas terwujudnya kerukunan umat bergama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat.

Dinamika perkembangan sosial yang berubah cepat akibat reformasi dan globalisasi, serta kemajuan teknologi komunikasi (media massa) berdampak pada merosotnya integritas dan moral masyarakat, serta makin kurangnya figur sentral dan figur moral di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Sementara itu figur-figur tokoh agama yang elitis dan berkelindan dengan penguasa acapkali menyebabkan masyarakat tidak mudah mempercayai fatwa-fatwa yang disampaikan. Akibatnya kerukunan antara umat beragama hanya mudah dilakukan ditingkat elit namun sulit diterima dan diimplementasikan ditingkat grass root.

Secara sosiologis, dialog antar agama sebenarnya diperlukan ketika banyak patologi beragama yang dipamerkan umat beragama, sehingga alih-alih agama bisa menjamin ketentraman dan kerukunan hidup yang ada justru menjadi alat pemicu pertengkaran dan konflik berwajah agama. Hal ini terjadi karena masing-masing penganut agama masih saling mencurigai antar satu dan lainnya. Sikap individu terhadap agama lain, selalu berangkat dari berbagai kecurigaan dan prasangka. Bukan kehendak untuk sama-sama berdialog dengan pemahaman yang benar.

Budaya kekerasan dengan dalih agama kerap kali muncul karena implementasi doktrin agama secara tidak proporsional. Sementara itu masih sering muncul isu-isu yang kurang berdasar, seperti isu Islamisasi atau isu Kristenisasi. Isu-isu seperti ini terkadang berpengaruh pada sebagian masyarakat sehingga dapat menimbulkan sikap saling curiga. Sikap memandang atau menilai agama orang lain berdasarkan kriteria keyakinan agamanya sendiri, selain tidak menghargai keyakinan orang lain, juga dapat memicu munculnya rasa kurang senang atau bahkan antipati antar kelompok agama.

Secara kultural masyarakat kadang masing belum menerima jika pendirian rumah ibadah memerlukan pengaturan oleh pemerintah dalam rangka fungsi ketertiban. Banyak orang beranggapan bahwa pendirian rumah ibadah tidak perlu diatur oleh pemerintah, karena sejak nenek moyang membuat rumah ibadah tidak perlu ijin dari siapapun. Padahal, Peraturan Bersama 2006, khususnya tentang pendirian rumah ibadah tidak dimaksudkan membatasi ibadah. Harus dibedakan antara mengatur pendirian rumah ibadah dan membatasi kebebasan beribadah. Semangat peraturan tersebut adalah menertibkan pendirian rumah ibadah dan menghindari konflik horizontal antar pemeluk agama.

Budaya hukum di bidang keagamaan saat ini tengah mengalami proses transisi sehingga berpotensi terjadi distorsi. Dalam rangka membangun budaya hukum ini FKUB sangat berperan untuk menumbuhkan nilai-nilai multikultural, pluralitas, saling menghargai, membangkitkan kembali nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom). Kerukunan masyarakat dan wawasan multikultural tidak bersifat given atau ada dengan sendirinya. Oleh karena itu perlu diupayakan secara bersama dan terus menerus terutama oleh pemuka agama dan pemerintah.

Dalam rangka membangun budaya hukum yang lebih kondusif FKUB diharapkan tidak hanya berwacana pada tingkat elit, tetapi juga melakukan berbagai kegiatan yang bersifat kerjasama sosial berupa program-program untuk mengatasi masalah bersama dan aksi-aksi kemanusiaan seperti memerangi kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat.***



[1] Pointers untuk Workshop Pemahaman dan Sosialisasi Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan No. 8 2006. Diselenggarakan Oleh Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Surakarta, di Bale Tawangarum Balaikota Surakarta, 28-29 Maret 2007.

[2] Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

[3] UU Kerukunan Umat Beragama tampaknya diilhami oleh Singapura yang memiliki Maintenance of Religious Harmony Act yang mengatur pluralitas beragama (Baca : Rumadi, 2003. “RUU KUB dan Jebakan Otoritarianisme” Kompas, 13 Nopember 2003).

[4] Menurut Ketua Umum PB NU Hasyim Muzadi “Pelaksanaan kerukunan beragama lebih enak dan efektif dilakukan secara informal, tidak perlu dibingkai dalam aturan yang kaku, karena lebih bisa menjamin komunikasi antar umat beragama (Tempointeraktif, 28/4/2004). Sementara itu menurut Wakil Ketua PP Muhammadiyah “Walau keterlibatan Negara dalam hubungan antara umat beragama diperlukan, Negara tidak boleh masuk terlalu jauh ke dalam persaoalan keyakinan. Negara hanya mengurusi dimensi social hubungan antar umat beragama. Keterlibatan Negara memang masih diperlukan lantaran masih adanya factor-faktor nonteologis yang bisa menimbulkan ketegangan antar agma, seperti pendirian rumah ibadah, penyebaran agama ke umat beragama lain, dan bantuan asing bagi penyebaran agama (Tempointerakif, 28/4/2004).

[5] Menurut Menteri Agama Maftuh Basyuni, peraturan itu dibuat sendiri oleh semua majelis agama, termasuk Persekutuan Gereja Indonesia (PGI).” Dalam musyawarah terjadi tawar-menawar dan kompromi. Dan hasilnya ya keputusan itu,” ujar Maftuh. Sementara Direktur Jenderal Kesatuan bangsa dan Politik Departemen Dalam Negeri Sudarsono Hardjono Soekarto juga mengatakan peraturan itu sudah disepakati semua majelis agama. “ Kami hanya memfasilitasi semua majelis agama untuk menyusun. Semua pasal mereka yang membuat. Saya berharap semua pihak membaca dulu aturan itu, lalu lihat bagaimana implementasinya,” sementara Kepala Balitbang Depag atho Mudzhar juga mengatakan peraturan itu dibuat setelah 10 kali putaran diikuti semua angggota majelis agama (Kompas, 25/3/2006).

[6] Baca : A.M.W Pranarka dan Vidhyandika Moeljarto, “Pemberdayaan (Empowerment)” dalam Permberdayaan, Konsep, Kebijakan dan Implmentasi, Centre For Strategic and International Studies, Jakarta, 1996. Hal 56.

PERAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD) DALAM PILKADA PASCA BERLAKUNYA UU NO.32 TAHUN 2004

Sebagai amanat Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah yang merupakan penggnati UU No. 22 Tahun 1999, mulai Juni 2005 kepala daerah (gubernur bupati, walikota) akan dipilih langsung oleh rakyat sebagaimana rakyat memilih presiden dan wakil presiden belum lama ini. Di Jawa Tengah untuk tahun 2005 tercatat sebanyak 17 bupati / walikota yang mengakhiri jabatan dan segera dilakukan pemilihan kepala daerah yang baru.

Pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung merupakan suatu kemajuan demokrasi sebagai kelanjutan dari upaya untuk meneguhkan eksistensi kedaulatan rakyat. Pilkada langsung merupakan sesuatu yang baru dalam kehidupan demokrasi di tingkat lokal, sekalipun jika dirunut ke belakang di ranah pedesaan sudah sejak dulu mempunyai tradisi melakukan pemilihan kepada desa (pilkades) secara langsung.

Pasal-Pasal Krusial tentang Pilkada Langsung

Dalam UU No. 32 Tahun 2004 terdapat ketentuan atau pasal-pasal yang secara khusus mengatur soal pilkada langsung. Yaitu pada Bagian Kedelapan tentang Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Pasal 56 sampai Pasal 119, meliputi tujuh paragraf yang mengatur tentang : pemilihan, penetapan pemilih, kempanye, pemungutan suara, penetapan calon terpilih dan pelantikan, pemantauan pilkada dan ketentuan pidana.

UU No. 32 Tahun 2004 yang merupakan payung hukum penyelenggaran pilkada langsung telah melahirkan berbagai perbedaan pendapat. Ada yang berpendapat bahwa ketentuan UU tersebut sudah cukup memadai sebagai norma-norma umum yang nantinya tinggal dilengkapi aturan detailnya dalam PP yang akan segera terbit.

Namun tidak sedikit yang melihat bahwa payung hukum tersebut banyak bertentangan dengan peraturan perundangan lainnya, sehingga perla diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Bahkan ada yang mengusulkan agar pemerintah menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu) untuk menggantikan payung hukum penyelenggaraan pilkada.

Memang jika dicermati, pasal-pasal ketentuan tentang pilkada langsung dalam UU No. 32 tahun 2004 banyak yang bermasalah, sehingga dapat berimplikasi munculnya problema pada proses pembuatan regulasi (electoral regulation) lebih lanjut oleh KPUD, proses penyelenggaraan pilkada (electoral process) dan penegakan hukum pelanggaran pilkada (electoral law enforcement).

Dari 63 pasal yang mengatur tentang pilkada yang tercantum dalam UU No. 32 tahun 2004 setidaknya terdapat beberapa pasal yang diidentifikasi sebagai “bermasalah”. Pengertian bermasalah di sini karena pasal-pasal tersebut mengandung ketidaktegasan, ketidakjelasan, ketidaksinkronan, atau ketidak-efisien-an.

Pertama, ketidaktegasan pengaturan sehingga dapat mengakibatkan timbulnya ketidakpatuhan. Misalnya, Pasal 59 ayat (3) tentang kesempatan bagi bakal calon independen. Pasal tersebut menyatakan : Partai politik atau gabungan partai politik wajib membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi calon perseorangan yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dan selanjutnya memproses bakal calon dimaksud melalui mekanisme yang demokratis dan transparan.

Pasal 59 ayat (3) UU No. 32/2004 adalah ketentuan yang tidaktegas, banci dan setengah hati karena sekalipun mengatakan “wajib” membuka kesempatan yang seluas-luasnya, namun ternyata tidak mencantumkan sanksi bagi partai politik yang mengabaikan dan tidak melaksanakan ketentuan tersebut. Tidak ada jaminan sedikitpun dalam UU untuk penegakan ketentuan tersebut.

Kedua, ketidakjelasan pengaturan yang dapat menimbulkan berbagai penafsiran berbeda. Misalnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 57 ayat (1) yang menyatakan bahwa pilkada diseleggarakan oleh KPUD yang bertanggung jawab lepada DPRD. Di sini tidak kejelasan mengenai ruang lingkup pertangungjawaban KPUD lepada DPRD, sehingga membuka peluang bagi intervensi dan tekanan politik dari DPRD sebagai kepanjangan dari partai politik yang berkepentingan terhadap hasil pilkada. Apalagi dalam Pasal 66 ayat (3) huruf e, DPRD juga memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan pada semua tahapan pilkada, sehingga kewenangan memberi justifikasi untuk melakukan intervensi lepada KPUD.

Ketidakjelasan juga terdapat dalam Pasal 57 ayat (3) mengenai pembentukan panitia pengawas (panwas) oleh DPRD. Di sini tidak ada kejelasan mengenai mekanisme pembentukan dan persyaratan keanggotaan panwas pilkada. Ketidakjelasan juga terjadi menyangkut kewenangan panwas, dalam Pasal 66 ayat (4) huruf d, yang menyatakan panwas bertugas meneruskan temuan dan laporan yang tidak dapat diselesaikan kepada instansi yang berwenang. Persoalnnya, ke siapakah instansi yang berwenang dimaksud jika menyangkut pelanggaran admnistratif dan siapa yang berwenang menjatuhkan sanksi. Apakah menjadi otoritas KPUD atau DPRD, hal ini tidak ada kejelasan sama sekali.

Pada sisi lain dalam UU N0. 32 Tahun 2004 juga terdapat ketidakjelasan mengenai posisi eksekutif daerah (gubernur, bupati, walikota) dalam penyelenggaraan. Hal ini sangat berbeda dengan UU No 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, yang menyatakasn bahwa KPU bertanggungjawab lepada Presiden sebagai penanggung jawab kegiatan pemilihan umum.

Ketiga, ketidaksinkronan pengaturan antar pasal dalam UU No. 32 Tahun 2004 yang dapat menimbulkan kegamangan aturan mana yang seharusnya dijadikan pedoman. Misalnya, Pasal 107 ayat (1) menyebutkan : pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari 50 % (lima puluh persen) jumlah suara sah ditetapkan sebagai pasangan terpilih.

Anehnya pada ayat (2) mengatur lain yaitu bahwa apabila ketentuan pada ayat (1) tidak terpenuhi, pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari 25 % (dua puluh lima persen) dari jumlah suara sah, pasangan calon yang perolehan suaranya terbesar dinyatakan sebagai pasangan calon terpilih.

Artinya UU No. 32 Tahun 2004 memberi batasan ganda yaitu dengan batasan mayoritas mutlak (lebih dari 50 % suara sah) dan mayoritas relatif (lebih dari 25 % suara sah). Ketidaksinkronan semacam ini akan mengurangi legitimasi politik pasangan terpilih yang notabene tidak sesuai dengan tujuan pilkada langsung yang ingin menhasilkan kepala daerah yang memiliki legitimasi politik kuat.

Keempat, ketidak-efisien-an pengaturan dalam UU No. 32 tahun 2004 mengakibatkan terjadinya pemborosan pembiayaan penyelenggaraan pilkada. Misalnya, dalam pasal 90 ayat (1) dinyatakan bahwa jumlah pemilih di setiap TPS sebanyak-banyaknya 300 (tiga ratus) orang. Ketentuan ini sangat tidak efisien mengingat pengalaman dalam pilpres kemarin jumlah 300 suara pada setiap TPS terasa sangat sedikit. Akibatnya dalam pilpres tersebut banyakl TPS yang sudah menyelesaikan pemungutan suara sebelum Pukul 11.00 siang, sekalipun petugas tetap harus menunggu sampai Pukul 13.00 sebagaimana ditentukan undang-undang.

Dengan tingkat kesulitan pemilih nyaris sama dengan pilpres, setiap TPS setidaknya mampu menampung 900 suara pemilih sehingga dapat dilakukan penghematan anggaran pilkada yang cukup signifikan. Apalagi mengingat bahwa salah satu persoalan dalam penyelenggaraan pilkada langsung adalah biaya cukup besar yang harus ditanggung dari APBD.

Banyaknya pasal-pasal yang bermasalah tentang pilkada dalam UU No. 32 Tahun 2004 menimbulkan kekhawatiran banyak pihak apakah penyelenggaraan pilkada langsung akan dapat berjalan secara mulus. Kekhawatiran ini dapat dimengerti mengingat potensi konflik dan pertentangan dalam pilkada jauh lebih besar dibanding pilpres.

Pada umumnya para calon kepala daerah berasal dari daerah setempat yang berarti terdapat kedekatan relasi antara para calon dengan para pendukung masing-masing. Selain itu kepala daerah akan lebih langsung bersentuhan dengan kepentingan dan keuntungan langsung para pengikut calon kepala daerah. Kondisi ini memungkinkan timbulnya loyalitas dan fanatisme berlebihan yang sangat rawan memunculkan konflik. Kondisi semacam ini hampir tidak ada dalam pilpres kemarin.

Peran DPRD Dalam Pilkada Langsung

Peran DPRD dalam pilkada mengelami perubahan setelah berlakunya UU No. 32 Tahun 2004. Jika dalam UU No. 22 Tahun 1999 DPRD memiliki tugas dan wewenang memilih Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota (vide Pasal 18 ayat 1 huruf a), maka sekarang kewenangan itu diserahkan kepada rakyat. DPRD hanya berwenang untuk mengusulkan pengangkatan (dan pemberhentian) kepala daerah/wakil kepala daerah kepada Presiden melalui Mendagri bagi DPRD Propinsi dan kepada Mendagri melalui Gubernur bagi DPRD kabupaten/kota (Vide Pasal 42 ayat (1) huruf d.

Dalam penyelenggaraan pilkada langsung DPRD memiliki peran yang “terbatas” karena penyelenggara pilkada dilakukan oleh KPUD yang bertanggungjawab kepada DPRD (Vide Pasal 57). Dalam melaksanakan tugasnya, KPUD menyampaikan laporan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah kepada DPRD.

Tugas dan wewenang DPRD dalam pilkada secara eksplisit diatur dalam Pasal 66 ayat (3) yang berbunyi : Tugas dan wewenang DPRD dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah:

1. memberitahukan kepada kepala daerah mengenai akan berakhirnya masa jabatan;

2. mengusulkan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah yang berakhir masa jabatannya dan mengusulkan pengangkatan kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih;

3. melakukan pengawasan pada semua tahapan pelaksanaan pemilihan;

4. membentuk panitia pengawas;

5. meminta pertanggungjawaban pelaksanaan tugas KPUD; dan

6. menyelenggarakan rapat paripurna untuk mendengarkan penyampaian visi, misi, dan program dari pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.

Tugas dan wewenang DPRD tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan dalam dua tahap yaitu tahap persiapan dan tahap pelaksanaan. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 65 ayat (2) dan (3) yang berbunyi sebagai berikut.

Masa persiapan pilkada meliputi :

1. Pemberitahuan DPRD kepada kepala daerah mengenai berakhirnya masa jabatan;

2. Pemberitahuan DPRD kepada KPUD mengenai berakhirnya masa jabatan kepala daerah;

3. Perencanaan penyelenggaraan, meliputi penetapan tata cara dan jadwal tahapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah;

4. Pembentukan Panitia Pengawas, PPK, PPS dan KPPS

5. Pemberitahuan dan pendaftaran pemantau.

Tahap pelaksanaan pilkada meliputi :

1. Penetapan daftar pemilih;

2. Pendaftaran dan Penetapan calon kepala daerah/ wakil kepala daerah;

3. Kampanye;

4. Pemungutan suara;

5. Penghitungan suara; dan

6. Penetapan pasangan calon kepala daerah/ wakil kepala daerah terpilih, pengesahan, dan pelantikan.

Tata cara pelaksanaan masa persiapan dan tahap pelaksanaan tersebut diatur KPUD dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah.

Panitia Pengawas Pilkada

Dalam mengawasi penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, dibentuk panitia pengawas pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang keanggotaannya terdiri atas unsur kepolisian, kejaksaan, perguruan tinggi, pers, dan tokoh masyarakat. Anggota panitia pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berjumlah 5 (lima) orang untuk provinsi, 5 (lima) orang untuk kabupaten/kota dan 3 (tiga) orang untuk kecamatan. Panitia pengawas kecamatan diusulkan oleh panitia pengawas kabupaten/kota untuk ditetapkan oleh DPRD. Panitia pengawas pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dibentuk oleh dan bertanggungjawab kepada DPRD dan berkewajiban menyampaikan laporannya.

Peran DPRD Dalam Pilkada Yang Bersifat Kondisional

Sekalipun DPRD sudah tidak berhak lagi memilih kepala daerah, namun dalam kondisi tertentu kewenangan tersebut dapat muncul kembali jika terjadi keadaan overmacht atau kondisi darurat. Keweangan kondisional ini terjadi jika calon kepala daerah atau wakil kepala daerah terpilih berhalangan tetap,

Dalam Pasal 108 UU 32 Tahun 2004 disebutkan.

1. Dalam hal calon wakil kepala daerah terpilih berhalangan tetap, calon kepala daerah terpilih dilantik menjadi kepala daerah.

2. Kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengusulkan dua calon wakil kepala daerah kepada DPRD untuk dipilih.

3. Dalam hal calon kepala daerah terpilih berhalangan tetap, calon wakil kepala daerah terpilih dilantik menjadi kepala daerah.

4. Kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengusulkan dua calon wakil kepala daerah kepada DPRD untuk dipilih.

5. Dalam hal pasangan calon terpilih berhalangan tetap, partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calonnya meraih suara terbanyak pertama dan kedua mengusulkan pasangan calon kepada DPRD untuk dipilih menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah selambat-lambatnya dalam waktu 60 (enam puluh) hari.

6. Untuk memilih wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4), pemilihannya dilakukan selambat-lambatnya dalam waktu 60 (enam puluh) hari.

Pengesahan Pengangkatan dan Pelantikan Kepala Daerah

Pasangan calon kepala kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih pengesahan pengangkatan dilakukan oleh Presiden untuk Gubernur dan oleh Mendagri untuk Bupati/walikota. Dalam hal ini DPRD mempunyai tugas dan wewenang untuk mengusulkan pengangkatannya. Prosesnya ditaur dalam Pasal 109 UU No. 32 Tahun 2004 yang menyebutkan :

1. Pengesahan pengangkatan pasangan calon Gubernur dan wakil Gubernur terpilih dilakukan oleh Presiden selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari.

2. (2) Pengesahan pengangkatan pasangan calon bupati dan wakil bupati atau walikota dan wakil walikota terpilih dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari.

3. Pasangan calon Gubernur dan wakil Gubernur terpilih diusulkan oleh DPRD provinsi, selambat-lambatnya dalam waktu 3 (tiga) hari, kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri berdasarkan berita acara penetapan pasangan calon terpilih dari KPU provinsi untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan.

4. Pasangan calon bupati dan wakil bupati atau walikota dan wakil walikota diusulkan oleh DPRD kabupaten/kota, selambat-lambatnya dalam waktu 3 (tiga) hari, kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur berdasarkan berita acara penetapan pasangan calon terpilih dari KPU kabupaten/kota untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan.

Peran atau tugas dan wewenang DPRD dalam rangkaian pilkada adalah menyelenggarakan pelantikan pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih dalam Rapat Paripurna DPRD. Sebagaimana diatur dalam Pasal 111 UU No. 32 tahun 2004 yang menyatakan.

1. Gubernur dan wakil Gubernur dilantik oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden.

2. Bupati dan wakil bupati atau walikota dan wakil walikota dilantik oleh Gubernur atas nama Presiden.

3. Pelantikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan dalam Rapat Paripurna DPRD.

4. Tata cara pelantikan dan pengaturan selanjutnya diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Demikian deskripsi singkat mengenai segi-segi normatif pengaturan pilkada langsung dan peran DPRD dalam pilkada. Mengingat masih adanya pengatuiran yang multitafsir dalam UU No. 32 tahun 2004 maka Peraturan Pemerintah (PP) yang sangat ditunggu-tunggu sebagai pelaksanaan diharapkan dapat meng-cover berbagai kelemahan pasal-pasal pilkada dalam UU No. 32 Tahun 2004 agar pelaksanaan pilkada dapat berjalan dengan demokratis dan lancar.***

PENYELENGGARAAN OTONOMI DAN LEGISLASI DAERAH MENURUT UU NO. 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

Sejarah pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia mengalami perjalanan yang cukup panjang dengan dinamikanya yang mengalami pasang surut. Jika dicermati pelaksanaan otonomi atau desentralisasi pemerintahan tidak terlepas dari perkembangan konfigurasi politik yang ada, artinya konfigurasi politik yang ada akan menentukan relasi pemerintah pusat dan daerah. Konfigurasi politik yang otoriter cenderung akan melahirkan relasi pemerintahan yang sentralistik (dekonsentrasi), dan sebaliknya konfigurasi politik yang demokratis cenderung akan melahirkan relasi pemerintahan yang desentralistik (otonomi luas). Bentuk relasi Kekuasaan antara pusat dan daerah berdasarkan perkembangan konfigurasi politik dapat dilihat pada bagan di bawah ini.

Periode

Konfigurasi Politik

Pola Hubungan Kekuasaan

Produk Hukum

1945-1959

Demokratis

Otonomi luas, desentralisasi

UUNo.1/1945;

UUNo22/1948;UUNo1/ 1957

1956-1966

Otoriter

Sentralistik, dekonsentrasi

PenpresNo.6/1959;UUNo18/1965

1966-1969/71

Demokratis

Otonomi luas, desentralisasi

Tap MPRS No XXI/1966

1971-1998

Otoriter

Sentralistik, dekonsentrasi

Tap MPR No IV/1973;UU No 5/1974; UUNo5/1979

1998- sekarang

Menuju demokrasi modern

Menuju otonomi dan desentralisasi luas

TAP MPR No XV/1998;UU No22/1999;UU No 25/1999. UU No. 32 dan 33 Tahun 2004

Catatan : perkembangan pengaturan ini, sangat menunjukkan hubungan antara konfigurasi hukum dan politik, dan bentuk pola hubungan kekuasaan yang diterapkan. Pada satu sisi terlihat bahwa suatu (produk) hukum bergantung pada situasi politik. Di sisi lain, dapat dilihat bahwa terjadi suatu proses tarik ulur dalam pengaturan hubungan pusat dan daerah

Perjalanan otonomi daerah memasuki babak baru dengan disahkannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti UU No. 22 Tahun 1999. Penggantian UU Nomor 22/99 Tentang Pemerintahan Daerah dilakukan karena telah terjadi berbagai perubahan dalam pengaturan ketatanegaraan terutama setelah diamandemennya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan di samping itu diundangkannya berbagai peraturan perundang-undangan baru dalam bidang politik seperti UU Nomor 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik, UU Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu, UU Nomor 22 Tahun 2003 Susduk MPR, DPR,DPD dan DPRD, UU bidang keuangan seperti UU Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, UU Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara dan lain sebagainya. Di samping itu penggantian UU Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah adalah untuk mengatasi kerancuan dan tarik menarik kewenangan antar lembaga dan antar tingkat pemerintahan yang menyebabkan terjadinya counter productive terhadap penyelenggaraan otonomi daerah yang pada gilirannya menghambat kinerja secara keseluruhan.

Dengan berlakunya UU No. 32 Tahun 2004 terjadi perubahan kebijakan penyelenggaraan otonomi daerah yang cukup mendasar. Perubahan tersebut dimaksudkan untuk menyempurnakan berbagai pengaturan dalam UU sebelumnya yang banyak menimbulkan permasalahan karena ketidakjelasan atau mengandung multitafsir di lapangan. Beberapa kebijakan baru di bidang otonomi daerah yang perlu dicermati dideskripsikan di bawah ini.

1. Prinsip-Prinsip Otonomi Daerah

Undang-Undang 32/2004 menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan kecuali yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang (negative list). Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peranserta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggungjawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional.

Seiring dengan prinsip itu penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat.

Selain itu penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamin keserasian hubungan antara Daerah dengan Daerah lainnya, artinya mampu membangun kerjasama antar Daerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antar Daerah. Hal yang tidak kalah pentingnya bahwa otonomi daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antar Daerah dengan Pemerintah, artinya harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah Negara dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan negara.

Agar otonomi daerah dapat dilaksanakan sejalan dengan tujuan yang hendak dicapai, Pemerintah wajib melakukan pembinaan yang berupa pemberian pedoman seperti dalam penelitian, pengembangan, perencanaan dan pengawasan. Di samping itu diberikan pula standar, arahan, bimbingan, pelatihan, supervisi, pengendalian, koordinasi, pemantauan, dan evaluasi. Bersamaan itu Pemerintah wajib memberikan fasilitasi yang berupa pemberian peluang kemudahan, bantuan, dan dorongan kepada daerah agar dalam melaksanakan otonomi dapat dilakukan secara efisien dan efektif sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

2. Pembagian Urusan Pemerintahan

Penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dengan daerah otonom. Pembagian urusan pemerintahan tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa selalu terdapat berbagai urusan pemerintahan yang sepenuhnya/tetap menjadi kewenangan Pemerintah. Urusan pemerintahan tersebut menyangkut terjaminnya kelangsungan hidup bangsa dan negara secara keseluruhan. Urusan pemerintahan dimaksud meliputi enam hal : 1) politik luar negeri ; 2) pertahanan; 3) keamanan; 4) moneter; 5) yustisi ; 6) dan agama.

Di samping itu terdapat bagian urusan pemerintah yang bersifat concurrent artinya urusan pemerintahan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama antara Pemerintah dan pemerintah daerah. Dengan demikian setiap urusan yang bersifat concurrent senantiasa ada bagian urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah, ada bagian urusan yang diserahkan kepada Provinsi, dan ada bagian urusan yang diserahkan kepada Kabupaten/Kota.

Urusan yang menjadi kewenangan daerah, meliputi urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan pemerintahan wajib adalah suatu urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar seperti pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasarana lingkungan dasar; sedangkan urusan pemerintahan yang bersifat pilihan terkait erat dengan potensi unggulan dan kekhasan daerah.

Untuk mewujudkan pembagian kewenangan yang concurrent secara proporsional antara Pemerintah, Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten dan Kota maka disusunlah kriteria yang meliputi: eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan mempertimbangkan keserasian hubungan pengelolaan urusan pemerintahan antar tingkat pemerintahan.

· Kriteria eksternalitas adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan dampak/akibat yang ditimbulkan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat lokal, maka urusan pemerintahan tersebut menjadi kewenangan kabupaten/kta, apabila regional menjadi kewenangan provinsi, dan apabila nasional menjadi kewenangan Pemerintah.

· Kriteria akuntabilitas adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan pertimbangan bahwa tingkat pemerintahan yang menangani sesuatu bagian urusan adalah tingkat pemerintahan yang lebih langsung/dekat dengan dampak/akibat dari urusan yang ditangani tersebut. Dengan demikian akuntabilitas penyelenggaraan bagian urusan pemerintahan tersebut kepada masyarakat akan lebih terjamin.

· Kriteria efisiensi adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan tersedianya sumber daya (personil, dana, dan peralatan) untuk mendapatkan ketepatan, kepastian, dan kecepatan hasil yang harus dicapai dalam penyelenggaraan bagian urusan. Artinya apabila suatu bagian urusan dalam penanganannya dipastikan akan lebih berdayaguna dan berhasilguna dilaksanakan oleh daerah Provinsi dan/atau Daerah Kabupaten/Kota dibandingkan apabila ditangani oleh Pemerintah maka bagian urusan tersebut diserahkan kepada Daerah Provinsi dan/atau Daerah Kabupaten/Kota. Sebaliknya apabila suatu bagian urusan akan lebih berdayaguna dan berhasil guna bila ditangani oleh Pemerintah maka bagian urusan tersebut tetap ditangani oleh Pemerintah. Untuk itu pembagian bagian urusan harus disesuaikan dengan memperhatikan ruang lingkup wilayah beroperasinya bagian urusan pemerintahan tersebut. Ukuran dayaguna dan hasilguna tersebut dilihat dari besarnya manfaat yang dirasakan oleh masyarakat dan besar kecilnya resiko yang harus dihadapi.

· Sedangkan yang dimaksud dengan keserasian hubungan yakni bahwa pengelolaan bagian urusan pemerintah yang dikerjakan oleh tingkat pemerintahan yang berbeda, bersifat saling berhubungan (inter-koneksi), saling tergantung (inter-dependensi), dan saling mendukung sebagai satu kesatuan sistem dengan memperhatikan cakupan kemanfaatan.

Pembagian urusan pemerintahan sebagaimana tersebut di atas ditempuh melalui mekanisme penyerahan dan atau pengakuan atas usul Daerah terhadap bagian urusan-urusan pemerintah yang akan diatur dan diurusnya. Berdasarkan usulan tersebut Pemerintah melakukan verifikasi terlebih dahulu sebelum memberikan pengakuan atas bagian urusan-urusan yang akan dilaksanakan oleh Daerah. Terhadap bagian urusan yang saat ini masih menjadi kewenangan Pusat dengan kriteria tersebut dapat diserahkan kepada Daerah. Tugas pembantuan pada dasarnya merupakan keikutsertaan Daerah atau Desa termasuk masyarakatnya atas penugasan atau kuasa dari Pemerintah atau pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah di bidang tertentu.

3. Pemerintahan Daerah

Pemerintahan Daerah adalah pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan daerah yang dilakukan oleh lembaga pemerintahan daerah yaitu Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Kepala Daerah sebagai pimpinan Pemerintah Daerah yang dipilih secara demokratis dan langsung mengingat menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, menyatakan antara lain bahwa DPRD tidak memiliki tugas dan wewenang untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat yang persyaratan dan tata caranya ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat dicalonkan baik oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu yang memperoleh sekurang-kurangnya 15 persen dari jumlah kursi DPRD atau 15 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah bersangkutan (Pasal 59 ayat 2)

Dalam proses pencalonan partai politik atau gabungan partai politik wajib membuka kesempatan seluas-luasnya bagi bakal calon perseorangan (independent) yang memenuhi syarat (Pasal 59 ayat 3). Kepala daerah dan wakil Wakil Kepala Daerah dipilih dalam suatu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.

Menurut UU No. 32 tahun 2004 Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) provinsi, kabupaten, dan kota diberikan kewenangan sebagai penyelenggara pemilihan kepala daerah. KPUD yang dimaksud dalam Undang-Undang ini adalah KPUD sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Untuk itu, tidak perlu dibentuk dan ditetapkan KPUD dan keanggotaannya yang baru. Agar penyelengaraan pemilihan dapat berlangsung dengan baik, maka DPRD membentuk panitia pengawas. Kewenangan KPUD provinsi, kabupaten, dan kota dibatasi sampai dengan penetapan calon terpilih dengan Berita Acara yang selanjutnya KPUD menyerahkan kepada DPRD untuk diproses pengusulannya kepada Pemerintah guna mendapatkan pengesahan.

Gubernur sebagai Kepala Daerah Provinsi berfungsi pula selaku wakil Pemerintah di daerah dalam pengertian untuk menjembatani dan memperpendek rentang kendali pelaksanaan tugas dan fungsi Pemerintah termasuk dalam pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan pada strata pemerintahan kabupaten dan kota.

Hubungan antara pemerintah daerah dan DPRD merupakan hubungan kerja yang kedudukannya setara dan bersifat kemitraan. Kedudukan yang setara bermakna bahwa diantara lembaga pemerintahan daerah itu memiliki kedudukan yang sama dan sejajar, artinya tidak saling membawahi. Hal ini tercermin dalam membuat kebijakan daerah berupa Peraturan Daerah. Hubungan kemitraan bermakna bahwa antara Pemerintah Daerah dan DPRD adalah sama-sama mitra sekerja dalam membuat kebijakan daerah untuk melaksanakan otonomi daerah sesuai dengan fungsi masing-masing sehingga antar kedua lembaga itu membangun suatu hubungan kerja yang sifatnya saling mendukung bukan merupakan lawan ataupun pesaing satu sama lain dalam melaksanakan fungsi masing-masing.

4. Perangkat Daerah

Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, kepala daerah dibantu oleh perangkat daerah. Secara umum perangkat daerah terdiri dari :

· Unsur staf yang membantu penyusunan kebijakan dan koordinasi, diwadahi dalam lembaga sekretariat;

· Unsur pendukung tugas kepala daerah dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat spesifik, diwadahi dalam lembaga teknis daerah;

· Unsur pelaksana urusan daerah yang diwadahi dalam lembaga dinas daerah.

Dasar utama penyusunan perangkat daerah dalam bentuk suatu organisasi adalah adanya urusan pemerintahan yang perlu ditangani. Namun tidak berarti bahwa setiap penanganan urusan pemerintahan harus dibentuk ke dalam organisasi tersendiri. Besaran organisasi perangkat daerah sekurang-kurangnya mempertimbangkan faktor kemampuan keuangan; kebutuhan daerah; cakupan tugas yang meliputi sasaran tugas yang harus diwujudkan, jenis dan banyaknya tugas; luas wilayah kerja dan kondisi geografis; jumlah dan kepadatan penduduk; potensi daerah yang bertalian dengan urusan yang akan ditangani; sarana dan prasarana penunjang tugas. Oleh karena itu kebutuhan akan organisasi perangkat daerah bagi masing-masing daerah tidak senantiasa sama atau seragam.

Tata cara atau prosedur, persyaratan, kriteria pembentukan suatu organisasi perangkat daerah ditetapkan dalam peraturan daerah yang mengacu pedoman yang ditetapkan Pemerintah.

Menurut UU No. 32 Tahun 2004, Sekretaris Daerah provinsi diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul gubernur dan Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur atas usul Bupati/Walikota. Sekretaris Daerah karena kedudukannya adalah sebagai pembinaan pegawai negeri sipil di daerahnya.

5. Keuangan Daerah

Penyelenggaraan fungsi pemerintahan daerah akan terlaksana secara optimal apabila penyelenggaraan urusan pemerintahan diikuti dengan pemberian sumber-sumber penerimaan yang cukup kepada daerah, dengan mengacu kepada Undang-Undang tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, dimana besarnya disesuaikan dan diselaraskan dengan pembagian kewenangan antara Pemerintah dan Daerah. Semua sumber keuangan yang melekat pada setiap urusan pemerintah yang diserahkan kepada daerah menjadi sumber keuangan daerah.

Daerah diberikan hak untuk mendapatkan sumber keuangan yang antara lain berupa : kepastian tersedianya pendanaan dari Pemerintah sesuai dengan urusan pemerintah yang diserahkan; kewenangan memungut dan mendayagunakan pajak dan retribusi daerah dan hak untuk mendapatkan bagi hasil dari sumber-sumber daya nasional yang berada di daerah dan dana perimbangan lainnya; hak untuk mengelola kekayaan Daerah dan mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah serta sumber-sumber pembiayaan. Dengan pengaturan tersebut, dalam hal ini pada dasarnya Pemerintah menerapkan prinsipuang mengikuti fungsi”.

Di dalam Undang-Undang mengenai Keuangan Negara, terdapat penegasan di bidang pengelolaan keuangan, yaitu bahwa kekuasaan pengelolaan keuangan negara adalah sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan; dan kekuasaan pengelolaan keuangan negara dari presiden sebagian diserahkan kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintah daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan. Ketentuan tersebut berimplikasi pada pengaturan pengelolaan keuangan daerah, yaitu bahwa gubernur/bupati/walikota bertanggungjawab atas pengelolaan keuangan daerah sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan daerah. Dengan demikian pengaturan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah melekat dan menjadi satu dengan pengaturan pemerintahan daerah, yaitu dalam Undang-Undang mengenai Pemerintahan Daerah.

6. Pengaturan Tentang Kalurahan dan Desa

Adapun mengenai perubahan dan/atau tambahan substansi mengenai pengaturan Kecamatan, Kelurahan dan desa dalam UU No.32/2004 bila dibandingkan dengan UU Nomor 22 Tahun 1999 meliputi:

  • Kecamatan dibentuk diwilayah Kabupaten/Kota yang dipimpin oleh seorang Camat. Camat dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan sebagian wewenang Bupati atau Walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah. Tanpa menunggu pelimpahan wewenang dari Bupati atau Walikota, undang-undang mengamanatkan agar camat menyelenggarakan tugas umum pemerintahan yang meliputi: mengoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat, mengoordinasikan upaya penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum, mengoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan, mengoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum, mengoordinasikan penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan, melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya.
  • Kelurahan dibentuk diwilayah kecamatan dan dipimpin oleh seorang lurah. Lurah diangkat oleh Bupati/Walikota atas usul Camat. Lurah dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan sebagian wewenang dari Bupati atau Walikota. Tanpa menunggu pelimpahan wewenang dari Bupati atau Walikota, undang-undang mengamatkan agar Lurah menyelenggarakan tugas; pelaksanaan kegiatan pemerintahan kelurahan, pemberdayaan masyarakat, pelayanan masyarakat, penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum, pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum. Untuk kelancaran pelaksanaan tugas lurah maka di Kelurahan dapat dibentuk lembaga lain sesuai kebutuhan.
  • Desa atau yang disebut dengan nama lain selanjutnya disebut Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adapt istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sitem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  • Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Desa mencakup; urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul Desa, urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan Pemerintah Daerah, urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan yang diserahkan kepada Desa. Desa berada di Kabupaten dan Kota.
  • Kepala Desa dipilih langsung oleh penduduk Desa bersangkutan. Pemilihan Kepala Desa dalam kesatuan masyarakat hukum adapt beserta hak tradisionalnya berlaku ketentuan hukum adat setempat.
  • Sekretaris Desa diisi dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi persyaratan. Sekretaris Desa yang ada selama ini yang bukan PNS secara bertahap diangkat menjadi PNS sesuai peraturan perundang-undangan.
  • Masa jabatan kepala desa adalah 6 (enam) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1(satu) kali masa jabatan berikutnya.
  • Badan Perwakilan Desa yang ada selama ini berubah menjadi Badan Permusyawaratan Desa atau sebutan lain yang sesuai dengan budaya yang berkembang di Desa bersangkutan. Badan Permusyawaratan Desa berfungsi menetapkan Peraturan Desa bersama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Keanggotaan Badan Permusyawaratan Desa terdiri dari wakil penduduk Desa bersangkutan yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat. Yang dimaksud dengan wakil masyarakat dalam hal ini seperti ketua rukun warga, pemangku adapt dan tokoh masyarakat. Masa jabatan Badan Permusyawaratan Desa 6 (enam) tahun dan dapat dipilih kembali untuk 1(satu) kali masa jabatan berikutnya.
  • UU No. 32 Tahun 2004 mendasar mengakui otonomi yang dimiliki oleh Desa dan kepada Desa melalui Pemerintah Desa dapat diberikan penugasan atau pendelegasian dari Pemerintah ataupun Pemda untuk melaksanakan urusan pemerintahan tertentu. Terhadap Desa diluar Desa gineologis yaitu Desa yang bersifat administrative, otonomi Desa diberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang mengikuti dari perkembangan dari Desa itu sendiri. \
  • Kepala Desa pada dasarnya bertanggungjawab kepada rakyat Desa yang prosedur pertanggungjawabannya disampaikan kepada Bupati atau Walikota melalui Camat. Kepada Badan Permusyawaratan Desa, Kepala Desa wajib memberikan keterangan laporan pertanggungjawaban dan kepada rakyat menyampaikan informasi pokok-pokok pertanggungjawabannya, namun tetap memberi peluang kepada masyarakat melalui Badan Permusyawaratan Desa untuk menanyakan dan/atau meminta keterangan lebih lanjut hal-hal yang bertalian dengan pertanggungjawaban dimaksud.

7. Legislasi Daerah

Penyelenggara pemerintahan daerah dalam melaksanakan tugas, wewenang, kewajiban, dan tanggungjawabnya serta atas kuasa peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat menetapkan kebijakan daerah yang dirumuskan dalam legislasi daerah antara lain dalam bentuk peraturan daerah, peraturan kepala daerah, dan ketentuan daerah lainnya. Kebijakan daerah dimaksud tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum serta peraturan Daerah lain. Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah.

Sesuai dengan Pasal 5 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, maka pembentukan Perda berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang meliputi: a. kejelasan tujuan; b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan; d. dapat dilaksanakan; e. kedayagunaan dan kehasilgunaan; f. kejelasan rumusan; dan g. keterbukaan.

Sedangkan materi muatan Perda mengandung asas : a. pengayoman; b. kemanusiaan; c. kebangsaan; d. kekeluargaan; e. kenusantaraan; f. bhineka tunggal ika; g. keadilan; h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau; j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan Perda.

Apabila dalam satu masa sidang, DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota menyampaikan rancangan Perda mengenai materi yang sama maka yang dibahas adalah rancangan Perda yang disampaikan oleh DPRD, sedangkan rancangan Perda yang disampaikan Gubernur atau Bupati/Walikota digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan.

Peraturan daerah dibuat oleh DPRD bersama-sama Pemerintah Daerah, artinya prakarsa dapat berasal dari DPRD maupun dari Pemerintah Daerah. Khusus peraturan daerah tentang APBD rancangannya disiapkan oleh Pemerintah Daerah yang telah mencakup keuangan DPRD, untuk dibahas bersama DPRD. Peraturan daerah dan ketentuan daerah lainnya yang bersifat mengatur (regeling) diundangkan dengan menempatkannya dalam Lembaran Daerah. Perda ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD.

Rancangan Perda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada Gubernur atau Bupati/Walikota untuk ditetapkan sebagai Perda. Penyampaian rancangan Perda sebagaimana dimaksud dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. Rancangan Perda ditetapkan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak rancangan tersebut disetujui bersama. Dalam hal rancangan Perda tidak ditetapkan Gubernur atau Bupati/Walikota dalam waktu terserbut rancangan Perda tersebut sah menjadi Perda dan wajib diundangkan dengan memuatnya dalam lembaran daerah.

8. Pengawasan Terhadap Produk Legislasi Daerah

Pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah upaya yang dilakukan oleh Pemerintah dan atau Gubernur selaku Wakil Pemerintah di Daerah untuk mewujudkan tercapainya tujuan penyelenggaraan otonomi daerah. Dalam rangka pembinaan oleh Pemerintah, Menteri dan Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen melakukan pembinaan sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing yang dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri untuk pembinaan dan pengawasan provinsi serta oleh gubernur untuk pembinaan dan pengawasan kabupaten/kota.

Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah proses kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar pemerintah daerah berjalan sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Obyek pengawasan yang dilaksanakan oleh Pemerintah terkait dengan penyelenggaraan urusan pemerintahan dan utamanya terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah. Istilah peraturan kepala daerah tidak dikenal dalam UU No. 22/1999, karena dalam pasal 22 UU tersebut hanya dikenal adanya keputusan kepala daerah (bisa bersifat regeling atau beschikking). Dalam hal pengawasan terhadap rancangan peraturan daerah dan peraturan kepala daera oleh, Pemerintah dilakukan dengan 2 (dua) cara sebagai berikut :

a) Pengawasan terhadap rancangan peraturan daerah (RAPERDA), yaitu terhadap rancangan peraturan daerah yang mengatur pajak daerah, retribusi daerah, APBD, dan RUTR sebelum disahkan oleh kepala daerah terlebih dahulu dievaluasi oleh Menteri Dalam Negeri untuk Raperda provinsi, dan oleh Gubernur terhadap Raperda kabupaten/kota. Mekanisme ini dilakukan agar pengaturan tentang hal-hal tersebut dapat mencapai daya guna dan hasil guna yang optimal.

b) Pengawasan terhadap semua peraturan daerah di luar yang termasuk dalam angka 1, yaitu setiap peraturan daerah wajib disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk provinsi dan Gubernur untuk kabupaten/kota untuk memperoleh klarifikasi paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan.. Terhadap peraturan daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan yang lebih tinggi dapat dibatalkan sesuai mekanisme yang berlaku.

Keputusan pembatalan Perda ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Perda. Paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan pembatalan perda tersebut kepala daerah harus memberhentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD bersama kepala daerah mencabut Perda dimaksud. Apabila provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, kepala daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung. Apabila keberatan terhadap pembatalan perda tersebut dikabulkan sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Apabila Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan Perda tersebuit, maka Perda dimaksud dinyatakan berlaku.***