Selasa, 08 April 2008

PERAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD) DALAM PILKADA PASCA BERLAKUNYA UU NO.32 TAHUN 2004

Sebagai amanat Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah yang merupakan penggnati UU No. 22 Tahun 1999, mulai Juni 2005 kepala daerah (gubernur bupati, walikota) akan dipilih langsung oleh rakyat sebagaimana rakyat memilih presiden dan wakil presiden belum lama ini. Di Jawa Tengah untuk tahun 2005 tercatat sebanyak 17 bupati / walikota yang mengakhiri jabatan dan segera dilakukan pemilihan kepala daerah yang baru.

Pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung merupakan suatu kemajuan demokrasi sebagai kelanjutan dari upaya untuk meneguhkan eksistensi kedaulatan rakyat. Pilkada langsung merupakan sesuatu yang baru dalam kehidupan demokrasi di tingkat lokal, sekalipun jika dirunut ke belakang di ranah pedesaan sudah sejak dulu mempunyai tradisi melakukan pemilihan kepada desa (pilkades) secara langsung.

Pasal-Pasal Krusial tentang Pilkada Langsung

Dalam UU No. 32 Tahun 2004 terdapat ketentuan atau pasal-pasal yang secara khusus mengatur soal pilkada langsung. Yaitu pada Bagian Kedelapan tentang Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Pasal 56 sampai Pasal 119, meliputi tujuh paragraf yang mengatur tentang : pemilihan, penetapan pemilih, kempanye, pemungutan suara, penetapan calon terpilih dan pelantikan, pemantauan pilkada dan ketentuan pidana.

UU No. 32 Tahun 2004 yang merupakan payung hukum penyelenggaran pilkada langsung telah melahirkan berbagai perbedaan pendapat. Ada yang berpendapat bahwa ketentuan UU tersebut sudah cukup memadai sebagai norma-norma umum yang nantinya tinggal dilengkapi aturan detailnya dalam PP yang akan segera terbit.

Namun tidak sedikit yang melihat bahwa payung hukum tersebut banyak bertentangan dengan peraturan perundangan lainnya, sehingga perla diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Bahkan ada yang mengusulkan agar pemerintah menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu) untuk menggantikan payung hukum penyelenggaraan pilkada.

Memang jika dicermati, pasal-pasal ketentuan tentang pilkada langsung dalam UU No. 32 tahun 2004 banyak yang bermasalah, sehingga dapat berimplikasi munculnya problema pada proses pembuatan regulasi (electoral regulation) lebih lanjut oleh KPUD, proses penyelenggaraan pilkada (electoral process) dan penegakan hukum pelanggaran pilkada (electoral law enforcement).

Dari 63 pasal yang mengatur tentang pilkada yang tercantum dalam UU No. 32 tahun 2004 setidaknya terdapat beberapa pasal yang diidentifikasi sebagai “bermasalah”. Pengertian bermasalah di sini karena pasal-pasal tersebut mengandung ketidaktegasan, ketidakjelasan, ketidaksinkronan, atau ketidak-efisien-an.

Pertama, ketidaktegasan pengaturan sehingga dapat mengakibatkan timbulnya ketidakpatuhan. Misalnya, Pasal 59 ayat (3) tentang kesempatan bagi bakal calon independen. Pasal tersebut menyatakan : Partai politik atau gabungan partai politik wajib membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi calon perseorangan yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dan selanjutnya memproses bakal calon dimaksud melalui mekanisme yang demokratis dan transparan.

Pasal 59 ayat (3) UU No. 32/2004 adalah ketentuan yang tidaktegas, banci dan setengah hati karena sekalipun mengatakan “wajib” membuka kesempatan yang seluas-luasnya, namun ternyata tidak mencantumkan sanksi bagi partai politik yang mengabaikan dan tidak melaksanakan ketentuan tersebut. Tidak ada jaminan sedikitpun dalam UU untuk penegakan ketentuan tersebut.

Kedua, ketidakjelasan pengaturan yang dapat menimbulkan berbagai penafsiran berbeda. Misalnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 57 ayat (1) yang menyatakan bahwa pilkada diseleggarakan oleh KPUD yang bertanggung jawab lepada DPRD. Di sini tidak kejelasan mengenai ruang lingkup pertangungjawaban KPUD lepada DPRD, sehingga membuka peluang bagi intervensi dan tekanan politik dari DPRD sebagai kepanjangan dari partai politik yang berkepentingan terhadap hasil pilkada. Apalagi dalam Pasal 66 ayat (3) huruf e, DPRD juga memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan pada semua tahapan pilkada, sehingga kewenangan memberi justifikasi untuk melakukan intervensi lepada KPUD.

Ketidakjelasan juga terdapat dalam Pasal 57 ayat (3) mengenai pembentukan panitia pengawas (panwas) oleh DPRD. Di sini tidak ada kejelasan mengenai mekanisme pembentukan dan persyaratan keanggotaan panwas pilkada. Ketidakjelasan juga terjadi menyangkut kewenangan panwas, dalam Pasal 66 ayat (4) huruf d, yang menyatakan panwas bertugas meneruskan temuan dan laporan yang tidak dapat diselesaikan kepada instansi yang berwenang. Persoalnnya, ke siapakah instansi yang berwenang dimaksud jika menyangkut pelanggaran admnistratif dan siapa yang berwenang menjatuhkan sanksi. Apakah menjadi otoritas KPUD atau DPRD, hal ini tidak ada kejelasan sama sekali.

Pada sisi lain dalam UU N0. 32 Tahun 2004 juga terdapat ketidakjelasan mengenai posisi eksekutif daerah (gubernur, bupati, walikota) dalam penyelenggaraan. Hal ini sangat berbeda dengan UU No 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, yang menyatakasn bahwa KPU bertanggungjawab lepada Presiden sebagai penanggung jawab kegiatan pemilihan umum.

Ketiga, ketidaksinkronan pengaturan antar pasal dalam UU No. 32 Tahun 2004 yang dapat menimbulkan kegamangan aturan mana yang seharusnya dijadikan pedoman. Misalnya, Pasal 107 ayat (1) menyebutkan : pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari 50 % (lima puluh persen) jumlah suara sah ditetapkan sebagai pasangan terpilih.

Anehnya pada ayat (2) mengatur lain yaitu bahwa apabila ketentuan pada ayat (1) tidak terpenuhi, pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari 25 % (dua puluh lima persen) dari jumlah suara sah, pasangan calon yang perolehan suaranya terbesar dinyatakan sebagai pasangan calon terpilih.

Artinya UU No. 32 Tahun 2004 memberi batasan ganda yaitu dengan batasan mayoritas mutlak (lebih dari 50 % suara sah) dan mayoritas relatif (lebih dari 25 % suara sah). Ketidaksinkronan semacam ini akan mengurangi legitimasi politik pasangan terpilih yang notabene tidak sesuai dengan tujuan pilkada langsung yang ingin menhasilkan kepala daerah yang memiliki legitimasi politik kuat.

Keempat, ketidak-efisien-an pengaturan dalam UU No. 32 tahun 2004 mengakibatkan terjadinya pemborosan pembiayaan penyelenggaraan pilkada. Misalnya, dalam pasal 90 ayat (1) dinyatakan bahwa jumlah pemilih di setiap TPS sebanyak-banyaknya 300 (tiga ratus) orang. Ketentuan ini sangat tidak efisien mengingat pengalaman dalam pilpres kemarin jumlah 300 suara pada setiap TPS terasa sangat sedikit. Akibatnya dalam pilpres tersebut banyakl TPS yang sudah menyelesaikan pemungutan suara sebelum Pukul 11.00 siang, sekalipun petugas tetap harus menunggu sampai Pukul 13.00 sebagaimana ditentukan undang-undang.

Dengan tingkat kesulitan pemilih nyaris sama dengan pilpres, setiap TPS setidaknya mampu menampung 900 suara pemilih sehingga dapat dilakukan penghematan anggaran pilkada yang cukup signifikan. Apalagi mengingat bahwa salah satu persoalan dalam penyelenggaraan pilkada langsung adalah biaya cukup besar yang harus ditanggung dari APBD.

Banyaknya pasal-pasal yang bermasalah tentang pilkada dalam UU No. 32 Tahun 2004 menimbulkan kekhawatiran banyak pihak apakah penyelenggaraan pilkada langsung akan dapat berjalan secara mulus. Kekhawatiran ini dapat dimengerti mengingat potensi konflik dan pertentangan dalam pilkada jauh lebih besar dibanding pilpres.

Pada umumnya para calon kepala daerah berasal dari daerah setempat yang berarti terdapat kedekatan relasi antara para calon dengan para pendukung masing-masing. Selain itu kepala daerah akan lebih langsung bersentuhan dengan kepentingan dan keuntungan langsung para pengikut calon kepala daerah. Kondisi ini memungkinkan timbulnya loyalitas dan fanatisme berlebihan yang sangat rawan memunculkan konflik. Kondisi semacam ini hampir tidak ada dalam pilpres kemarin.

Peran DPRD Dalam Pilkada Langsung

Peran DPRD dalam pilkada mengelami perubahan setelah berlakunya UU No. 32 Tahun 2004. Jika dalam UU No. 22 Tahun 1999 DPRD memiliki tugas dan wewenang memilih Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota (vide Pasal 18 ayat 1 huruf a), maka sekarang kewenangan itu diserahkan kepada rakyat. DPRD hanya berwenang untuk mengusulkan pengangkatan (dan pemberhentian) kepala daerah/wakil kepala daerah kepada Presiden melalui Mendagri bagi DPRD Propinsi dan kepada Mendagri melalui Gubernur bagi DPRD kabupaten/kota (Vide Pasal 42 ayat (1) huruf d.

Dalam penyelenggaraan pilkada langsung DPRD memiliki peran yang “terbatas” karena penyelenggara pilkada dilakukan oleh KPUD yang bertanggungjawab kepada DPRD (Vide Pasal 57). Dalam melaksanakan tugasnya, KPUD menyampaikan laporan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah kepada DPRD.

Tugas dan wewenang DPRD dalam pilkada secara eksplisit diatur dalam Pasal 66 ayat (3) yang berbunyi : Tugas dan wewenang DPRD dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah:

1. memberitahukan kepada kepala daerah mengenai akan berakhirnya masa jabatan;

2. mengusulkan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah yang berakhir masa jabatannya dan mengusulkan pengangkatan kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih;

3. melakukan pengawasan pada semua tahapan pelaksanaan pemilihan;

4. membentuk panitia pengawas;

5. meminta pertanggungjawaban pelaksanaan tugas KPUD; dan

6. menyelenggarakan rapat paripurna untuk mendengarkan penyampaian visi, misi, dan program dari pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.

Tugas dan wewenang DPRD tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan dalam dua tahap yaitu tahap persiapan dan tahap pelaksanaan. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 65 ayat (2) dan (3) yang berbunyi sebagai berikut.

Masa persiapan pilkada meliputi :

1. Pemberitahuan DPRD kepada kepala daerah mengenai berakhirnya masa jabatan;

2. Pemberitahuan DPRD kepada KPUD mengenai berakhirnya masa jabatan kepala daerah;

3. Perencanaan penyelenggaraan, meliputi penetapan tata cara dan jadwal tahapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah;

4. Pembentukan Panitia Pengawas, PPK, PPS dan KPPS

5. Pemberitahuan dan pendaftaran pemantau.

Tahap pelaksanaan pilkada meliputi :

1. Penetapan daftar pemilih;

2. Pendaftaran dan Penetapan calon kepala daerah/ wakil kepala daerah;

3. Kampanye;

4. Pemungutan suara;

5. Penghitungan suara; dan

6. Penetapan pasangan calon kepala daerah/ wakil kepala daerah terpilih, pengesahan, dan pelantikan.

Tata cara pelaksanaan masa persiapan dan tahap pelaksanaan tersebut diatur KPUD dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah.

Panitia Pengawas Pilkada

Dalam mengawasi penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, dibentuk panitia pengawas pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang keanggotaannya terdiri atas unsur kepolisian, kejaksaan, perguruan tinggi, pers, dan tokoh masyarakat. Anggota panitia pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berjumlah 5 (lima) orang untuk provinsi, 5 (lima) orang untuk kabupaten/kota dan 3 (tiga) orang untuk kecamatan. Panitia pengawas kecamatan diusulkan oleh panitia pengawas kabupaten/kota untuk ditetapkan oleh DPRD. Panitia pengawas pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dibentuk oleh dan bertanggungjawab kepada DPRD dan berkewajiban menyampaikan laporannya.

Peran DPRD Dalam Pilkada Yang Bersifat Kondisional

Sekalipun DPRD sudah tidak berhak lagi memilih kepala daerah, namun dalam kondisi tertentu kewenangan tersebut dapat muncul kembali jika terjadi keadaan overmacht atau kondisi darurat. Keweangan kondisional ini terjadi jika calon kepala daerah atau wakil kepala daerah terpilih berhalangan tetap,

Dalam Pasal 108 UU 32 Tahun 2004 disebutkan.

1. Dalam hal calon wakil kepala daerah terpilih berhalangan tetap, calon kepala daerah terpilih dilantik menjadi kepala daerah.

2. Kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengusulkan dua calon wakil kepala daerah kepada DPRD untuk dipilih.

3. Dalam hal calon kepala daerah terpilih berhalangan tetap, calon wakil kepala daerah terpilih dilantik menjadi kepala daerah.

4. Kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengusulkan dua calon wakil kepala daerah kepada DPRD untuk dipilih.

5. Dalam hal pasangan calon terpilih berhalangan tetap, partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calonnya meraih suara terbanyak pertama dan kedua mengusulkan pasangan calon kepada DPRD untuk dipilih menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah selambat-lambatnya dalam waktu 60 (enam puluh) hari.

6. Untuk memilih wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4), pemilihannya dilakukan selambat-lambatnya dalam waktu 60 (enam puluh) hari.

Pengesahan Pengangkatan dan Pelantikan Kepala Daerah

Pasangan calon kepala kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih pengesahan pengangkatan dilakukan oleh Presiden untuk Gubernur dan oleh Mendagri untuk Bupati/walikota. Dalam hal ini DPRD mempunyai tugas dan wewenang untuk mengusulkan pengangkatannya. Prosesnya ditaur dalam Pasal 109 UU No. 32 Tahun 2004 yang menyebutkan :

1. Pengesahan pengangkatan pasangan calon Gubernur dan wakil Gubernur terpilih dilakukan oleh Presiden selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari.

2. (2) Pengesahan pengangkatan pasangan calon bupati dan wakil bupati atau walikota dan wakil walikota terpilih dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari.

3. Pasangan calon Gubernur dan wakil Gubernur terpilih diusulkan oleh DPRD provinsi, selambat-lambatnya dalam waktu 3 (tiga) hari, kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri berdasarkan berita acara penetapan pasangan calon terpilih dari KPU provinsi untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan.

4. Pasangan calon bupati dan wakil bupati atau walikota dan wakil walikota diusulkan oleh DPRD kabupaten/kota, selambat-lambatnya dalam waktu 3 (tiga) hari, kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur berdasarkan berita acara penetapan pasangan calon terpilih dari KPU kabupaten/kota untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan.

Peran atau tugas dan wewenang DPRD dalam rangkaian pilkada adalah menyelenggarakan pelantikan pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih dalam Rapat Paripurna DPRD. Sebagaimana diatur dalam Pasal 111 UU No. 32 tahun 2004 yang menyatakan.

1. Gubernur dan wakil Gubernur dilantik oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden.

2. Bupati dan wakil bupati atau walikota dan wakil walikota dilantik oleh Gubernur atas nama Presiden.

3. Pelantikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan dalam Rapat Paripurna DPRD.

4. Tata cara pelantikan dan pengaturan selanjutnya diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Demikian deskripsi singkat mengenai segi-segi normatif pengaturan pilkada langsung dan peran DPRD dalam pilkada. Mengingat masih adanya pengatuiran yang multitafsir dalam UU No. 32 tahun 2004 maka Peraturan Pemerintah (PP) yang sangat ditunggu-tunggu sebagai pelaksanaan diharapkan dapat meng-cover berbagai kelemahan pasal-pasal pilkada dalam UU No. 32 Tahun 2004 agar pelaksanaan pilkada dapat berjalan dengan demokratis dan lancar.***

Tidak ada komentar: