KAJIAN SOSIOLOGI HUKUM ATAS PERATURAN BERSAMA MENTERI AGAMA DAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 9 TAHUN 2006 / NOMOR 8 TAHUN 2006 TENTANG PELAKSANAAN TUGAS KEPALA DAERAH/WAKIL KEPALA DAERAH DALAM PEMELIHARAAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA, PEMBERDAYAAN FORUM KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DAN PENDIRIAN RUMAH IBADAH[1]
Oleh : Moh Jamin[2]
Tidak dapat dipungkiri, perkembangan pembangunan dalam berbagai bidang, selain membawa kemajuan dan mendinamiskan kehidupan sosial masyarakat, juga membawa dampak tersendiri terutama dalam penataan kehidupan yang harmonis sesuai adat, tradisi dan kearifan –kearifan lokal serta harmoni lingkungan. Pada sisi lain dinamika perkembangan sosial yang berubah cepat akibat reformasi dan globalisasi, serta kemajuan teknologi komunikasi (media massa) berdampak pada merosotnya integritas dan moral masyarakat, serta makin berkurangnya peran figur sentral dan figur moral di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Hal ini pada gilirannya, dapat mengundang timbulnya berbagai reaksi sosial yang berbeda atau bertentangan dengan moral agama di kalangan masyarakat.
Di lingkungan internal masing-masing kelompok agama, masih terdapat ekspresi dan perilaku keagamaan sempit dan dipandang kurang mengembangkan ajaran-ajaran agama yang bersifat inklusif, selain terkadang masih dirasakan terjadi kecurigaan yang berlebihan dari aparat pemerintah terhadap para ustad/dai.
Di tingkat grass root masih terdapat isu-isu yang cenderung provokatif yang terkadang berpengaruh pada sebagian masyarakat sehingga dapat menimbulkan sikap saling curiga. Sementara itu, sikap memandang atau menilai agama orang lain berdasarkan kriteria keyakinan agamnya sendiri, selain tidak menghargai keyakinan orang lain, juga dapat memicu munculnya rasa kurang senang atau bahkan antipati antar kelompok agama.
Pemberitaan pers kadang juga dipandang oleh sebagian masyarakat masih mengeksploitasi permasalahan antar kelompok tanpa mempertimbangankan dampak yang ditimbulkannya pada segi-segi keamanan dan keharmonisan hubungan antar kelompok masyarakat.
Kebijakan Pemerintah yang dirasakan oleh sebagian masyarakat kurang mencerminkan keadilan dan lemahnya penegakan hukum berpotensi terhadap timbulnya ketidak harmonisan hubungan antar kelompok sosial dan umat beragama, maupun hubungan antar umat beragama dengan pemerintah. Ketidak adilan dan kesenjangan sosial, ekonomi, hukum dan politik sering menimbulkan dan mempermudah elemen luar masuk sehingga dapat memicu terjadinya konflik antar kelompok dalam masyarakat. Perebutan lahan antar pendatang dan penduduk yang menetap lebih dulu merupakan potensi yang dapat berkembang menjadi marjinalisasi kelompok-kelompok sosial yang dan kemudian dapat berpotensi menjadi konflik antar kelompok-kelompok sosial yang mungkin saja kebetulan juga mewakili kelompok-kelompok keagamaan. Otonomi daerah menimbulkan wajah ganda; di satu sisi sangat bermanfaat bagi warga setempat dalam upaya mengembangkan diri, namun di sisi lain juga berpeluang bagi tumbuhnya sikap primordialisme dan ketertutupan.
Kurangnya komunikasi antar tokoh/ pemuka agama, dipandang dapat berpengaruh terhadap ketidak harmonisan hubungan antar kelompok masyarakat dan kurang dapat berfungsinya peran antisipasi pencegahan kesalahpahaman antar kelompok, terutama di tingkat kecamatan dan pedesaan. Persoalan pendirian rumah ibadah yang kurang memenuhi prosedur, penyiaran agama, dan aliran-aliran sempalan di lingkungan internal kelompok agama masih dirasakan sebagian masyarakat sebagai gangguan dalam membangun hubungan umat yang harmonis.
Dari latar belakang kondisi yang dipaparkan di atas maka diterbitkannya Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 / Nomor 8 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama Dan Pendirian Rumah Ibadah (selanjutnya disebut Peraturan Bersama 2006), diharapkan memberikan kejelasan tugas kepala daerah dan institusionalisasi forum lintas agama sekaligus, secara substansial lebih memperjelas peraturan lama tentang persyaratan dan prosedur pendirian rumah ibadah yang sebelumnya telah diatur dalam Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 01/BER/MDN-MAG/1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan Dalam Menjamin Ketertiban Dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan Dan Ibadat Agama Oleh Pemeluk-Pemeluknya.
Peraturan Bersama 2006 merupakan produk hukum yang bersifat ”moderat” setelah sebelumnya muncul wacana pemerintah untuk menyusun UU Kerukunan Umat Beragama[3] yang digagas oleh departemen agama yang mendapat reaksi penentangan cukup keras dari berbagai kelompok agama[4] (baca : Pikiran Rakyat 26/2/2004, Kompas 13/11/2003, Tempointeraktif, 28/4/2004)
Dalam rangka mengkaji secara sosiologis Peraturan Bersama 2006 maka produk hukum tersebut dalam perspektif makro. Artinya, hukum harus dilihat sebagai suatu sistem yang utuh, dimana hukum itu hidup dalam suatu interaksi antara berbagai faktor pendukungnya. Lawrence Meir Friedman mengatakan bahwa a legal system an actual operation is complex organism in which substance, structure, and culture interaction (Lawrence M Friedman, 1979 : 11-16).
Komponen pendukung bekerjanya sistem hukum meliputi substansi, struktur, dan budaya. Komponen substansi, ialah materi regulasi dalam sistem hukum yang berlaku. Komponen struktur, ialah kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum itu dengan berbagai macam fungsinya dalam rangka mendukung bekerjanya sistem hukum. Komponen kultur, ialah nilai-nilai yang merupakan pengikat sistem itu serta menentukan tempat bagi bekerjanya sistem hukum itu di tengah-tengah kultur masyarakat secara keseluruhan.
SUBSTANSI PERATURAN BERSAMA 2006
Terlepas dari siapa yang ada di balik penyusunan[5] Peraturan Bersama 2006 tersebut, sebagai produk hkum yang dibuat oleh menteri maka peraturan tersebut menjadi tanggungjawab pemerintah sebagai pihak yang menerbitkannya. Sebagai produk hukum sekaligus kebijakan publik tentu saja selalu memunculkan pro dan kontra. Maka tidak aneh jika ada pihak dan beberapa anggota DPR yang tidak setuju dan menentang peraturan tersebut karena justru akan melahirkan fragmentasi dan deskriminasi (Kompas 25 Maret 2006).
Terlepas dari pro dan kontra tersebut, Peraturan Bersama 2006 yang terdiri dari dari 6 Bab, dan 31 pasal, secara substansi memiliki beberapa titik krusial yang patut dicermati.
Pertama, dalam Peraturan Bersama 2006 tidak ada kejelasan yang dimaksud dengan pemberdayaan dan dalam peraturan tersebut, istilah pemberdayaan diartikan dalam berbagai konteks seperti tercantum dalam Pasal 23, 24, 25. Dan 26. Pasal 26 misalnya menyebutkan “Belanja ………., pemberdayaan FKUB didanai dari APBD kabupaten/kota”. Agak aneh jika yang dibiayai adalah pemberdayaannya dan bukan kegiatan atau operasional FKUB. Padahal pemberdayaan (empowerment) secara konseptual mengandung dua kecenderungan. Yaitu proses memberikan atau mengalihkan sebagaian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar invidu menjadi lebih berdaya, dan upaya membangun asset material guna mendukung pembangunan kemandirian mereka melalui organisasi[6].
Kedua, Pasal 12 Peraturan Bersama 2006 menyebutkan ketentuan lebih lanjut mengenai FKUB dan Dewan Penasehat FKUB provinsi dan kabupaten/kota ditaur dengan Peraturan Gubernur. Sayangnya dalam Peraturan Gubernur Jateng No. 108 Tahun 2006 tentang Pedoman Pembentukan FKUB dan Dewan Penasehat FKUB Jawa Tengah sama sekali tidak memberi kejelasan dan pengaturan lebih lanjut, justru Pergub tersebut hanya mengulang kembali (copy paste) ketentuan yang sduah ada dalam Perber 2006. Harusnya Pergub tersebut member kejelasan teknis operasional yang terkait dengan pembiayaan untuk permberdayaan FKUB dalam APBD, bentuk fasilitasi pemerintah daerah terhadap FKUB dan sebagainya.
Ketiga, dalam Peraturan Bersama 2006 ini pendirian rumah ibadah selain harus memenuhi syarat administrasi dan teknis bangunan, juga harus memenuhi syarat khusus, yakni daftar nama dan KTP pengguna rumah ibadah minimal 90 orang. Selain itu harus ada dukungan warga setempat minimal 60 orang, yang disahkan lurah/kepala desa, dan rekomendasi kepala kantor departemen kabupaten/kota dan FKUB kabupaten/kota (vide : Pasal 14). Yang perlu dicermati sejauh mana kekuatan masing-masing rekomendasi dari Depag dan FKUB, ini penting jika ternyata rekomendasi keduanya ternyata berbeda. Jika rekomendasi FKUB menolak pendirian rumah ibadah apakah mungkin kantor departemen agama tidak mengindahkan dan justru memberi rekomendasi sebaliknya. Hal ini penting diperjelas karena jika mengikuti prinsip “pemberdayaan” FKUB semestinya rekomendasi yang dihasilkan memiliki kekuatan moral yang bersifat mengikat.
Keempat, Pasal 15 menyebutkan rekomendasi FKUB merupakan hasil musyawarah dan mufakat dalam rapat FKUB. Ketentuan harus hasil musyawaah dan mufakat ini dapat melahirkan tirani oleh minoritas ketika ada satu orang anggota FKUB yang menentang pendirian rumah ibadah tertentu sehingga mufakat tidak akan pernah tercapai. Akan lebih adil dan demokratis jika ketentuan tersebut memungkinkan digunakan voting dalam hal tidak tercapai mufakat dalam rapat FKUB.
Kelima, pada Pasal 16 Peraturan Bersama 2006 disebutkan bahwa bupati/walikota memberikan keputusan paling lambat 90 hari sejak permohonan pendirian diajukan. Jika lewat waktu tersebut tidak ada keputusan apa konsekuensi hukumnya, di sini tidak ada kejelasan sehingga dalam implementasi dapat menimbulkan problem tersendiri.
STRUKTUR HUKUM
Dalam Peraturan Bersama 2006 diatur adanya institusi yang dibentuk untuk membangun, memelihara dan memberdayakan umat beragama untuk kerukunan dan kesejahteraan yaitu Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan Dewan Penasehat FKUB di propinsi dan kabupaten/kota. Dalam Ketentuan Umum angka 6 Peraturan Bersama 2006, dinyatakan bahwa FKUB adalah forum yang dibentuk oleh masyarakat dan difasilitasi oleh pemerintah dalam rangka membangun, memelihara dan memberdayakan umat beragama untuk kerukunan dan kesejahteraan.
Sekalipun dibentuk oleh masyarakat namun wajah FKUB versi Peraturan Bersama tersebut tidak dapat terhindar dari wajah birokratis dan struktural sebagai kepanjangan tangan pemerintah daerah, mengingat FKUB mendapat SK pengangkatan dari bupati/walikota. Di Kota Surakarta, walikota telah menerbitkan Keputusan Walikota No. 450/20/1/2007 tentang Pembentukan FKUB dan Dewan Penasehat FKUB
Mengingat pembentukan FKUB dilakukan oleh masyarakat dan hanya difalitasi pemerintah idealnya penetapan FKUB tidak memerlukan legalitas dalam bentuk keputusan walikota/bupati. Secara psikologis pengangkatan oleh kepala daerah dan kewajiban melaporkan akan menimbulkan kekhawatiran berkaitan independensi lembaga tersebut.
Peraturan Bersama 2006 juga mengandung keanehan karena FKUB yang dibentuk ternyata tidak ditentukan masa kepengurusan, dan hal itu ternyata juga tidak mendapat pengaturan lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur Jateng No. 108 Tahun 2006 tentang Pedoman Pembentukan FKUB dan Dewan Penasehat FKUB Jawa Tengah. Demikian juga dalam Keputusan Walikota Surakarta No. 450/20/1/2007, FKUB yang dibentuk tidak dibatasi masa berlakunya, sehingga dapat ditafsirkan bahwa masa kepengurusan FKUB berlaku untuk selamanya.
Sementara itu susunan keanggotaan Dewan Penasehat FKUB Kota Surakarta ternyata berbeda dengan yang ditentukan oleh Peraturan Gubernur Jateng No. 108 Tahun 2006. Menurut Pasal 5 ayat (4) Pergub tersebut anggota Dewan Penasehat FKUB hanya terdiri dari tiga instansi yaitu Kepala Dinas Kesejahteraan Sosial kabupaten/kota, Kepala Informasi dan Komunikasi kabupaten/kota dan Kepala bagian Sosial Sekretariat Daerah kabupaten/kota. Sedangkan di Kota Surakarta anggota Dewan Penasehat FKUB lebih gemuk yaitu terdiri dari lima instansi : Kepala DKRPP dan KB Kota Surakarta, Kepala Dinas Tata Kota Surakarta, Kepala bagian Pemerintahan dan Otda Kota Surakarta, Kepala Bagian Hukum dan HAM Setda Kota Surakarta, dan Kepala Seksi Hubungan Antar Lembaga Kantor Kesbanglinmas Kota Surakarta.
BUDAYA HUKUM
Budaya hukum (legal culture) yang berada di belakang bekerjanya Peraturan Bersama 2006 harus diakui belum sepenuhnya kondusif. Budaya hukum yang berkembang yang tentu tidak lepas dari pemahaman agama masing-masing, dan kenyataannya budaya hukum yang berkembang justru berpotensi menghambat efektifitas terwujudnya kerukunan umat bergama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat.
Dinamika perkembangan sosial yang berubah cepat akibat reformasi dan globalisasi, serta kemajuan teknologi komunikasi (media
Secara sosiologis, dialog antar agama sebenarnya diperlukan ketika banyak patologi beragama yang dipamerkan umat beragama, sehingga alih-alih agama bisa menjamin ketentraman dan kerukunan hidup yang ada justru menjadi alat pemicu pertengkaran dan konflik berwajah agama. Hal ini terjadi karena masing-masing penganut agama masih saling mencurigai antar satu dan lainnya. Sikap individu terhadap agama lain, selalu berangkat dari berbagai kecurigaan dan prasangka. Bukan kehendak untuk sama-sama berdialog dengan pemahaman yang benar.
Budaya kekerasan dengan dalih agama kerap kali muncul karena implementasi doktrin agama secara tidak proporsional. Sementara itu masih sering muncul isu-isu yang kurang berdasar, seperti isu Islamisasi atau isu Kristenisasi. Isu-isu seperti ini terkadang berpengaruh pada sebagian masyarakat sehingga dapat menimbulkan sikap saling curiga. Sikap memandang atau menilai agama orang lain berdasarkan kriteria keyakinan agamanya sendiri, selain tidak menghargai keyakinan orang lain, juga dapat memicu munculnya rasa kurang senang atau bahkan antipati antar kelompok agama.
Secara kultural masyarakat kadang masing belum menerima jika pendirian rumah ibadah memerlukan pengaturan oleh pemerintah dalam rangka fungsi ketertiban. Banyak orang beranggapan bahwa pendirian rumah ibadah tidak perlu diatur oleh pemerintah, karena sejak nenek moyang membuat rumah ibadah tidak perlu ijin dari siapapun. Padahal, Peraturan Bersama 2006, khususnya tentang pendirian rumah ibadah tidak dimaksudkan membatasi ibadah. Harus dibedakan antara mengatur pendirian rumah ibadah dan membatasi kebebasan beribadah. Semangat peraturan tersebut adalah menertibkan pendirian rumah ibadah dan menghindari konflik horizontal antar pemeluk agama.
Budaya hukum di bidang keagamaan saat ini tengah mengalami proses transisi sehingga berpotensi terjadi distorsi. Dalam rangka membangun budaya hukum ini FKUB sangat berperan untuk menumbuhkan nilai-nilai multikultural, pluralitas, saling menghargai, membangkitkan kembali nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom). Kerukunan masyarakat dan wawasan multikultural tidak bersifat given atau ada dengan sendirinya. Oleh karena itu perlu diupayakan secara bersama dan terus menerus terutama oleh pemuka agama dan pemerintah.
Dalam rangka membangun budaya hukum yang lebih kondusif FKUB diharapkan tidak hanya berwacana pada tingkat elit, tetapi juga melakukan berbagai kegiatan yang bersifat kerjasama sosial berupa program-program untuk mengatasi masalah bersama dan aksi-aksi kemanusiaan seperti memerangi kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat.***
[1] Pointers untuk Workshop Pemahaman dan Sosialisasi Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan No. 8 2006. Diselenggarakan Oleh Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)
[2] Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
[3] UU Kerukunan Umat Beragama tampaknya diilhami oleh Singapura yang memiliki Maintenance of Religious Harmony Act yang mengatur pluralitas beragama (Baca : Rumadi, 2003. “RUU KUB dan Jebakan Otoritarianisme” Kompas, 13 Nopember 2003).
[4] Menurut Ketua Umum PB NU Hasyim Muzadi “Pelaksanaan kerukunan beragama lebih enak dan efektif dilakukan secara informal, tidak perlu dibingkai dalam aturan yang kaku, karena lebih bisa menjamin komunikasi antar umat beragama (Tempointeraktif, 28/4/2004). Sementara itu menurut Wakil Ketua PP Muhammadiyah “Walau keterlibatan Negara dalam hubungan antara umat beragama diperlukan, Negara tidak boleh masuk terlalu jauh ke dalam persaoalan keyakinan. Negara hanya mengurusi dimensi social hubungan antar umat beragama. Keterlibatan Negara memang masih diperlukan lantaran masih adanya factor-faktor nonteologis yang bisa menimbulkan ketegangan antar agma, seperti pendirian rumah ibadah, penyebaran agama ke umat beragama lain, dan bantuan asing bagi penyebaran agama (Tempointerakif, 28/4/2004).
[5] Menurut Menteri Agama Maftuh Basyuni, peraturan itu dibuat sendiri oleh semua majelis agama, termasuk Persekutuan Gereja Indonesia (PGI).” Dalam musyawarah terjadi tawar-menawar dan kompromi. Dan hasilnya ya keputusan itu,” ujar Maftuh. Sementara Direktur Jenderal Kesatuan bangsa dan Politik Departemen Dalam Negeri Sudarsono Hardjono Soekarto juga mengatakan peraturan itu sudah disepakati semua majelis agama. “ Kami hanya memfasilitasi semua majelis agama untuk menyusun. Semua pasal mereka yang membuat. Saya berharap semua pihak membaca dulu aturan itu, lalu lihat bagaimana implementasinya,” sementara Kepala Balitbang Depag atho Mudzhar juga mengatakan peraturan itu dibuat setelah 10 kali putaran diikuti semua angggota majelis agama (Kompas, 25/3/2006).
[6] Baca : A.M.W Pranarka dan Vidhyandika Moeljarto, “Pemberdayaan (Empowerment)” dalam Permberdayaan, Konsep, Kebijakan dan Implmentasi, Centre For Strategic and International Studies, Jakarta, 1996. Hal 56.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar