Moh Jamin
Dekan FH UNS, Anggota Dewan Pakar MAPILU PWI Surakarta
Rapat Paripurna DPR RI di Gedung Nusantara II DPR Jakarta, Selasa (01/04/08) , secara aklamasi mengesahkan perubahan kedua atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda). Revisi (terbatas) UU Pemda ini akan menjadi lembaran baru bagi demokrasi dinegeri ini karena membuka peluang bagi keikutsertaan calon independen atau calon perseorangan, yaitu calon yang diusung dan didukung non partai dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) pasca keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 5/PUU-V/2007.
Di samping mengatur tentang calon perseorangan, dalam Revisi UU Pemda juga membawa kemajuan signifikan dengan adanya pengaturan lain berupa soal batas usia calon kepala derah, ketentuan bahwa incumbent (calon kepala daerah yang sedang menjabat) harus mengundurkan diri dari jabatannya, dan pengalihan penyelesaian sengketa dari MA ke MK. Diharapkan dengan adanya aturan baru itu akan dapat meningkatkan kualitas proses dan hasil pilkada lebih baik lagi.
Revisi UU Pemda memang telah membuka peluang masuknya calon perseorangan dalam pilkada. Namun jika diprediksi implementasinya, keberadaan calon perseorangan dalam pilkada masih sulit untuk terealisasi. Mengapa? Ada beberapa faktor dalam perubahan undang-undang tersebut yang masih menyisakan persoalan.
Pertama, aturan baru yang mengizinkan calon perseorangan mengikuti Pilkada tersebut dikhawatirkan tidak dapat langsung diberlakukan dalam waktu dekat. Hal ini terkait dengan aturan teknis yang perlu disiapkan lebih dahulu. Pada satu sisi Mendagri menyatakan bahwa KPU yang bertugas untuk segera membuat ketentuan teknis dimaksud, di sisi lain KPU merasa belum bisa membuat ketentuan teknis sebelum ada PP sebagai aturan pelaksanaanya UU Pemda hasil revisi itu.
Kedua, persyaratan yang berlaku bagi calon perseorangan dalam revisi atas UU No Pemda tampak cukup berat untuk dipenuhi. Tidak salah jika dikatakan bahwa peluang bagi calon perseorangan ini diberikan setengah hati. Persentase dukungan yang dimiliki seorang calon perseorangan berkisar antara 3-6,5% dari jumlah penduduk, yang berarti sama dengan electoral treshold bagi parpol. Misalnya di Jateng, penduduknya 32 juta, maka calon harus bisa mengumpulkan dukungan yang dilampiri KTP hampir 1 juta orang. Selain dinilai memberatkan, besaran persentase dukungan dinilai menimbulkan anomali, misalnya calon di provinsi dengan penduduk 2 juta jiwa harus didukung minimal 6,5% populasi, sedangkan di provinsi berpenduduk lebih dari 12 juta jiwa harus didukung minimal 3% populasi.
Ketiga, tidak adanya ketentuan yang memungkinkan penundaan pilkada yang masih dalam proses pendaftaran calon, sehingga calon perseorangan tetap tidak masuk. Seperti pilgub Jateng saat ini, sangat ironis ketika calon perseorangan tidak bisa ikut padahal pendaftaran calgub ditutup bersamaan dengan disahkannya revisi UU Pemda tersebut.
Sekalipun demikian ada dua hal yang patut diapresiasi positip dalam Revisi UU Pemda ini.
Pertama, adanya persyaratan usia yang lebih muda. Pada pasal 58 (d) disebutkan calon gubernur sekurang-kurangnya telah berusia 30 tahun dan untuk bupati/wali kota sekurang-kurangnya 25 tahun, sedangkan sebelumnya syarat usia minimal bagi seorang calon kepala daerah adalah 30 tahun. Dengan syarat usia 30 tahun dan 25 tahun untuk calon kepala daerah tersebut, maka akan memberikan peluang pada tokoh muda untuk mempimpin bangsa, hal tersebut sekaligus dalam rangka mendorong agar adanya estafet kepemimpinan bangsa yang lebih dinamis.
Kedua, ketentuan tentang keberadaan calon incumbent dalam pilkada. Pada Pasal 58 (q) disebutkan calon incumbent harus mengundurkan diri dari jabatannya sebagai kepala daerah. Calon kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak diperbolehkan dalam status sebagai penjabat kepala daerah dan harus mengundurkan diri sejak pendaftaran, padahal dalam aturan yang lama kepala daerah yang mencalonkan kembali cukup nonaktif. Hal ini sangat baik untuk menjaga netralitas dan jaminan pilkada berjalan demokratis, sekaligus untuk menghindari adanya politisasi jabatan sehingga tercipta kondisi yang adil dalam pilkada.
PRAGMATISME
Kehadiran calon perseorangan tidak serta merta dapat meningkatkan kualitas pilkada. Kendala terbesar adalah sikap masyarakat yang cenderung pragmatis. Walaupun mungkin calon perseorangan akan dapat meningkatkan kuantitas partisipasi pemilih, karena bagi mereka yang sudah muak dengan perilaku parpol, atau yang termasuk golongan putih (golput), atau yang apatis terhadap kondisi pilkada mendapat alternatif dengan adanya calon perseorangan.
Dalam sitruasi banyak pilihan, justru sikap pragmatis masyarakat yang hanya memikirkan kepentingan jangka pendek mudah dimanfaatkan, terlebih kondisi sosial seperti kemiskinan sangat menguntungkan calon perseorangan yang memiliki modal kuat. Jika masyarakat belum mampu melakukan pilihan dan tawar-menawar politik secara rasional, maka yang akan terjadi hanyalah perpindahan pengaruh dari partai politik ke masyarakat menjadi dari calon perseorangan kepada masyarakat, yang keduanya sama-sama oligarkis.
Tampilnya calon perseorangan dalam pilkada tidak pula berarti dapat menghapus politik biaya tinggi. Calon perseorangan tetap saja harus mengeluarkan biaya besar untuk membeli dukungan pemilih, baik pada tahap pencalonan maupun pemilihan. Jika hal itu benar-benar terjadi, pilkada dengan calon independen tetap akan berdampak buruk terhadap proses demokratisasi. Belajar dari pengalaman pilkada selama ini, terpilihnya kepala daerah dalam pemilihan langsung sebenarnya tidak semata-mata tergantung pada mesin partai, tetapi ada faktor lain yang berperan penting yaitu kekuatan primordial dan kekuatan uang.
Biaya tinggi yang selama ini dipatok parpol sangat mungkin akan bergeser dan dimainkan oleh kekuatan primordial yang masih eksis, apakah organisasi-organisasi keagamaan, kesukuan, maupun organisasi primordial lain. Kuatnya struktur dan hirarki suatu organisasi akan menjadi daya tawar terhadap besaran biaya yang harus dibayar oleh seorang kandidat perseorangan agar bisa mendapatkan dukungan.
Pada akhirnya, demokrasi bahkan bisa dibeli oleh pemilik uang dan para pengusaha politik. Kita menyaksikan maraknya money politics dan transaksi buying democracy, yaitu jual beli suara antara pemilih dengan pasangan calon kepala daerah. Dampak buruk dari anomali demokrasi ini akan dirasakan seluruh masyarakat termasuk mereka yang tidak menjual suara bahkan yang tidak memilih.
Kepala daerah terpilih yang sudah menghabiskan puluhan miliar rupiah, pastilah akan berupaya ekstra keras untuk mengembalikan uang tersebut. Apalagi jika uangnya berasal dari pengusaha alias cukong politik. Caranya tidak lain dengan merampok APBD, atau membagi proyek-proyek. Dari sudut pandang ini, peluang munculnya calon independen sebenarnya belum mampu mengeliminir atau bahkan sekedar meminimalisasi mahalnya biaya pilkada.
Dilihat dari efektifitas pemerintahan, ada kelemahan lain yang patut diwaspadai. Calon independen yang terpilih menjadi kepala daerah tetapi tidak mempunyai basis dukungan sama sekali di legialslatif sangat mungkin akan mengalami kesulitan dalam menjalankan pemerintahan daerah bersama DPRD. Sangat mungkin DPRD akan selalu merecoki dan menghambat kebijakan Kepala Daerah. Untuk mencapai kesepakatan mendukung kebijakan eksekutif, lagi-lagi sangat terbuka peluang terjadinya transaksi politik. Sebuah kebijakan pada akhirnya bisa diputuskan bukan karena secara obyektif menguntungkan rakyat banyak, tetapi lebih karena adanya deal politik antara eksekutif dengan legislatif. Jika hal itu benar-benar terjadi, efektifitas dan efisiensi pemerintahan juga akan sangat lemah dan penuh ketidakpastian.
Namun demikian harus pula disadari bahwa, tampilnya calon independen akan berdampak pada pilkada yang lebih demokratis, dan seakan tidak ada lagi keran politik yang terseumbat. Namun ketika jumlah calon kepala daerah yang muncul semakin banyak dipastikan berdampak pada proses administrasi dan pembengkakan biaya penyelenggaraan pilkada yang harus ditanggung rakyat melalui APBD. Belum lagi potensi konflik yang jelas akan meningkat, dampak politik dan psikologis pasca pilkada yang mungkin berkepanjangan tentu akan menimbulkan trauma tersendiri bagi proses demokrasi yang akan datang.
Bila kehadiran calon perseorangan dalam pilkada tidak dapat membawa dampak positip bagi demokrasi di daerah, bukan mustahil justru akan menjadi titik balik bagi munculnya tuntutan untuk mengembalikan pilkada secara tidak langsung melalui DPRD, seperti mulai disuarakan oleh beberapa pihak belakangan ini.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar