Selasa, 08 April 2008

HUKUM DAN POLITIK DALAM REFORMASI HUKUM NASIONAL

A. PENGANTAR

Arus reformasi yang dimotori oleh generasi muda dan mahasiswa pada tahun 1998 yang pada awalnya melahirkan sejumlah harapan besar dan optimisme dalam perjalanannya kini justru melahirkan tanda tanya besar. Agenda reformasi yang meliputi seluruh tatanan kehidupan kemasyarakatan, seperti bidang sosial, politik, ekonomi, hukum belum menujukkan hasil menggembirakan. Dalam beberapa bidang kehidupan proses reformasi hanya jalan ditempat bahkan ada yang mengatakan bahwa reformasi telah mati suri.

Slogan reformasi yang sekaligus merupakan ideologi gerakan reformasi yaitu pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) merupakan agenda utama yang seharusnya menjadi landasan bagi upaya reformasi di segala tatanan kehidupan termasuk upaya mereformasi hukum nasional. Agenda itu berada dalam sebuah bingkai besar yaitu keinginan untuk menegakkan supremasi hukum di Indonesia yang dalam konstitusinya secara regas telah menyatakan diri sebagai negara hukum. Reformasi bidang hukum dengan sendirinya mutlak dilakukan, sebab hukum itulah yang pada dasarnya mengatur seluruh perilaku masyarakat bangsa dalam kehidupan bernegara.

Pengalaman masa orde baru menunjukkan adanya marjinalisasi peran hukum dalam kehidupan bernegara. Hukum hanya menjadi instrumen bagi penguasa untuk melanggengkan dan melegitimasi kekuasaan serta melindungi birokrasi dan eksekutif yang sangat korup. Ketika itu lembaga-lembaga penegak hukum telah dikebiri dan sepenuhnya dibawah kontrol kekuasaan eksekutif sehingga mereka tidak memiliki kemerdekaan dan independensi, serta tak lepas dari intervensi elit penguasa.

Lembaga peradilan bukan lagi tempat untuk mendapat keadilan tetapi sebagai pusat jual beli keadilan, setidaknya keadilan hanyalah milik mereka yang memiliki akses karena didukung oleh sumber daya ekonomi, politik, kekuasaan, atau kekerabatan. Pada saat itu simbol keadilan yang dilambangkan oleh Dewi Themis yang tertutup matanya, seolah sudah membuka selubung penutup matanya, sehingga dia dapat membedakaan manakah orang yang berpangkat atau tidak, berduit atau tidak, mana lembar ratusan ribu atau recehan dan sebagainya sehingga keadilan menjadi pilih-pilih dan diskriminatif.

Dalam penegakan hukum pidana tampak jelas bahwa hukum hanya ibarat “jaring laba-laba” yang hanya mampu menjaring serangga kecil yang tak berdaya, dan jaring hukum itu akan mudah robek dan terkoyak-koyak jika berhadapan dengan makhluk yang besar dan kuat. Prinsip kepastian hukum dan equality before the law masih sekedar slogan. Sekalipun hal itu terkesan sangat menggeneralisasi, namun kebenarannya tidak dapat dinafikan begitu saja.

Banyak fenomena penegakan hukum yang tidak dapat dicerna oleh rakyat. Setidaknya logika hukum masyarakat sulit menerima jika maling ayam begitu mudah dimasukkan penjara, namun hukum menjadi tidak berdaya ketika berhadapan dengan para terdakwa korupsi kelas kakap hanya karena alasan sakit atau sedang berobat ke luar negeri. Tesis downward law is greater than upward law sebagaimana dinyatakan Donald Black (1989 : 11) menjadi tak terbantahkan. Hukum yang mengarah ke bawah akan lebih besar dibandingkan hukum yang mengarah ke atas.

B. PERKEMBANGAN REFORMASI HUKUM

Lima tahun setelah reformasi bergulir ternyata penegakan supremasi hukum masih jauh dari harapan. Sejak pemerintahan Abdurrachman Wachid sampai pemerintahan Megawati hampir tidak ada kemajuan yang berarti. Salah satu tolok ukur yang cukup signifikan untuk melihat sejauh mana penegakan supremasi hukum adalah sejauh mana keberhasilan pemberantasan KKN dilakukan.

Di era reformasi ini telah banyak dihasilkan perangkat peratutan perundangan di bidang pemberantasan KKN. Misalnya, ada Ketetapan MPR No. XI/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN, UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Dari KKN, PP No. 65/1999 tantang Tata Cara Pemeriksaaan Kekayaaan Penyelenggara Negara, PP No. 66/1999 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengengkatan serta Pemberhentian Anggota Komisi Pemeriksa, PP N0. 67/1999 tentang Tata Cara Pemantauan dan Evaluasi Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Komisi Pemeriksa, PP No. 689/1999 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta masyarakat Dalam Penyelenggaraan Negara, Inpres No. 30/1998 tentang Pemberantasan Kolusi, Korupsi dan Nepotisme, UU No. 20 Tahun 2001 (merubah UU NO. 31 Tahun 1999) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, PP No. 71/2000 tentang Tata Cara Pelaknsanaan Peran Seta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan Tindak Pidana Korupsi, dan UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Namun, secara umum reformasi hukum belum membawa perubahan yang cukup signifikan ke arah penegakan supremasi hukum. Pelaku KKN masih banyak yang lolos dari jerat hukum sehingga menimbulkan rasa ketidakadilan dan ketidakpastian. Fungsi prevensi umum (deterence) dan prevensi khusus melalui penerapan kebijakan penal (sanksi pidana) menjadi nihil. Bahkan ada indikasi perilaku KKN makin meningkat sehubungan dengan otonomi daerah, yaitu dengan adanya desentralisasi korupsi.

Kondisi itu sangat mungkin karena upaya reformasi hukum yang telah dilakukan selama ini agaknya masih terbatas pada bidang substansi hukum yaitu dengan hanya memperbaharui berbagai UU baru. Pada hal pembentukan UU baru tidak serta merta akan menciptakan penegakan hukum yang baik. Undang-undang yang baik belum tentu menjelma dalam bentuk penegakan hukum yang baik tanpa ada penegak/pelaksana hukum yang baik. Menurut Blumberg (1970 : 5) , the rule of law is not executing. It is translated in to reality by men in institution. Dan pembuatan peraturan perundangan tidak otomatis menciptakan kepastian hukum kecuali hanya kepastian undang-undang !

Harus diingat bahwa bekerjanya sistem hukum (penegakan hukum) tidak dapat lepas dari tiga komponen yaitu komponen substansi, komponen struktur, dan komponen kultur (Friedman, 1968 : 1003-1004). Dua komponen terakhir ini yang tampaknya masih belum banyak direformasi sehingga penegakan supremasi hukum masih mengecewakan.

Komponen struktur yang mendukung bekerjanya sistem hukum seperti Kepolisian, Kejaksaaan, Kehakiman dan Pengacara masih belum banyak berubah dari pola dan budaya yang diwarisi dari orde baru. Masing-masing institusi tersebut belum memiliki visi yang sama untuk menegakkan supremasi hukum, belum tampak komitmen yang kuat diantara mereka untuk menuntaskan semua pelaku KKN dan kejahatan lainnya sesuai aturan hukum yang berlaku, sehingga hukum benar-benar dihormati dan mampu melindungi masyarakat. Para penegak hukum tampaknya masih sibuk cari makan dengan caranya sendiri-sendiri, sehingga muncul fenomena berupa mafia peradilan, jual beli kasus, jual beli penangguhan penahanan, jual beli SP3, tawar menawar tuntutan, pengacara “hitam”, dan praktek-praktek KKN lain yang masih jalan terus.

Jika penegakan supremasi hukum ingin diwujudkan lembaga penegak hukum harus dilepaskan dari pola dan kultur orde baru yang selama ini telah menjadi mind set aparat penegak hukum. Di samping itu harus dilakukan upaya pembersihan dari oknum yang selama ini menggerogoti wibawa dan citra penegak hukum. Sampai saat ini sistem reward and punishment belum dilaksanakan dengan baik, seharusnya oknum yang jelas terbukti menyalahgunakan jabatan, mengesampingkan hukum dan keadilan, atau melakukan pelanggaran lainnya diberi sanksi yang keras (bila perlu dipecat !) , bukan sekedar dimutasi atau justru dipromosikan. Proses pembersihan institusi hukum harus dimulai dari level atas ke bawah, karena proses pembusukan institusi itu juga dimulai dari atas dan merambat ke bawah.

Harus diingat bahwa peradilan pidana sebagai bagian dari upaya penegakan hukum tidak terbatas pada lembaga pengadilan (hakim). Sistem peradilan pidana merupakan keterpaduan antara sub sistem yang terdiri dari polisi, jaksa , pengadilan dan lembaga pemasyarakatan (Indriyanto Seno Adji, 2000 : 1). Sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system) bertujuan untuk mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi. Sistem tersebut memiliki tiga tahap : a) Pra Pengadilan, yaitu mencegah masyarakat menjadi korban; b) Pengadilan, yaitu menyelesaikan kejahatan yang terjadi dengan memberi putusan yang sesuai dengan rasa keadilan; c) Pasca pengadilan, yaitu agar pelaku tidak melakukan kejahatan atau tidak mengulangi kejahatan tersebut.

Komponen kultur hukum merupakan bagian lain dari komponen sistem hukum yang masih memprihatinkan, baik dalam tataran institusi penegak hukum maupun masyarakat sendiri. Bahkan dalam beberapa sisi kultur hukum yang berkembang menunjukkan perubahan ke arah degradasi nilai-nilai kemanusiaan yang mencemaskan dengan munculnya berbagai bentuk kekerasan, pengerahan massa, anarkisme, melawan petugas, dan sebagainya.

Kenyataan yang ada mengindikasikan, ketika hukum dipandang tak lagi dapat ditegakkan sesuai harapan, masyarakat melakukan upaya penegakan hukum dengan cara mereka sendiri melalui bentuk-bentuk pengadilan massa. Kenyataan ini membawa implikasi yaitu apabila hukum positip secara empiris tidak berhasil ditegakkan, atau hukum itu dikesampingkan oleh rakyat maka hukum seakan-akan kehilangan legitimasinya dan kehilangan pula keefektifannya.

Jika fenomena pengadilan massa tak dapat ditanggulangi maka akan timbul kesan bahwa hukum tidak lagi dapat berlaku di masyarakat kecuali hukum massa (mass law) yang diwujudkan dalam peradilan jalanan (street justice). Hal ini jelas bertentangan dengan prinsip negara hukum (recthstaat) yang menghendaki agar semua hukum harus dihormati dan ditegakkan.

Dalam rangka reformasi sistem hukum terdapat 4 (empat) program induk yang harus segera dilakukan (Mardjono Reksodiputro, 1999 : 11-15).

Pertama, program untuk meningkatkan kemampuan sistem peradilan. Tujuan utamanya adalah meningkatkan kemampuan hakim melaksanakan hukum secara profesional. Di sini diperlukan peninjauan tentang prosedur rekrutmen dan promosi, sistem pelatihan dan penggajian, dan sistem pengembangan karir berdasarkan kualitas putusan, profesionalisme dan moralitas pribadi. Hakim harus memiliki dan tunduk pada kode etik perilaku hakim (code of judicial conduct).

Kedua, program membangun sistem pemerintahan yang layak dan reformasi hukum administrasi. Tujuan utamanya adalah menciptakan aparatur pemerintah yang profesional dan mampu menerapkan prinsip umum pemerintahan yang baik (general principles of good governance).

Ketiga, program peningkatan kemampuan anggota legislatif (DPR/DPRD). Tujuan utamanya adalah meningkatkan kemampuan anggota legislatif melakukan power sharing dengan eksekutif.

Keempat, program pendidikan hukum lanjutan, pengujian dan penegakan disiplin profesi. Tujuan utmanya adalah meningkatkan kemampuan sarjana hukum dengan pengetahuan praktek agar mereka memiliki kemampuan profesional dalam bekerja.

C. DOMINASI POLITIK TERHADAP HUKUM

Salah satu permasalahan yang dihadapai dalam reformasi hukum di Indonesia adalah karena tidak lemahnya otonomi hukum terutama jika berhadapan dengan subsistem politik (Moh Mahfud, 1999 : 2). Dalam tataran empiris, konsentrasi energi hukum selalu kalah kuat dari konsentrasi energi politik (Satjipto Rahardjo, 1985 : 71). Padahal seharusnya hubungan antara hukum dan politik adalah ibarat hubungan antara rel dengan kereta apinya, namun dalam kenyataannya kereta api (politik) acapkali bejalan di luar relnya (hukum) (Moh Mahfud, 1999 : 3).

Pada sisi lain, hukum sesungguhnya merupakan produk proses dan keputusan politik. Sekalipun secara das sollen seharusnya politik tunduk pada ketentuan hukum namun kenyataanya hukum justru ditentukan oleh politik. Dan yang lebih parah, selama ini fenomena yang menonjol adalah fungsi intsrtumental hukum sebagai sarana kekuasaaan politik. Selama orde baru kehiudpan berbangsa kita dipedomani “politik sebagai panglima” dan kemudian “ekonomi (dan teknologi) di atas segalanya” (Mardjono Reksodiputro, 1999 : 9).

Ada dua faktor yang dapat diduga mempercepat (atau memperlambat) reformasi bidang hukum :

Pertama, struktur pemeritahan dan kekuasaan yang mendukungnya. Semakin demokratis struktur dan gaya pemerintahan, semakin baik visi dan introspeksi-nya untuk membuat kepuitusan politik yang tepat dan tegas mengenai perlunya langkah reformasi hukum. Kedua, tingkat persepsi pemerintah tentang derajat keseriusan adanya krisis kepercayaan pada penegakan hukum. Makin sensitif pemerintah tentang ketidakadilan yang erlangsung, dan bahwa krisis kepercayaan pada (penegakan) hukum akan memperlambat reformasi ekonomi dan reformasi politik, makin cepat pula reaksi dan upayanya melakukan reformasi.

Secara singkat dapat dikatakan, jika kualitas demokrasi baik, kualitas hukum akan baik dan jika demokrasi bobrok, hukumnya pun akan jelek.

Reformasi hukum selama ini masih belum berjalan dengan baik karena posisi hukum dalam berhadapan dengan politik masih seperti keadaan di masa lalu. Intervensi poltik dalam proses penegakan maupun pembuatan hukum masih terlalu dominan, sehingga hukum masih tetap menjadi independent variabel. Hukum masih belum menjadi lembaga primer dalam sistem kemasyakatan dan kenegaraan.

Sebagai ilustrasi, dalam proses penyusunan perundang-udangan di bidang politik (UU No. 31 Tahun 2002 tentang Parpol, UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota, DPR, DPD dan DPRD, RUU Pemilihan Presiden, RUU Susduk MPR/DPR) sangat kental adanya kekuatan politik yang lebih dominan daripada pertimbangan hukum dalam rangka membangunan sistem (hukum) ketatanegaraan ke depan yang lebih baik.

D. RUU PEMILIHAN PRESIDEN SEBAGAI CONTOH KASUS

Rancangan Undang-Undang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (RUU Pilpres) yang tampaknya masih menjadi ajang tarik menarik kalangan elit kekuasaan di parlemen yang semuanya tidak terlepas dari kepentingan politik praktis sesaat dari partai-partai yang berkuasa di DPR.

Paling tidak terdapat tiga isu sentral yang masih menjadi perdebatan dalam pembahasan RUU Pilpres. Pertama, menyangkut apakah pemilihan presiden dilakukan bersamaan dengan pemilu legislatif sebagaimana di atur dalam UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD. Kedua, menyangkut syarat partai yang dapat mencalonkan presiden dan wakil presiden. Ketiga, menyangkut kriteria dan syarat-syarat calon presiden dan wakil presiden.

Dalam pembahasan di Panitia Khusus RUU Pilpres berkembang dua pendapat menyangkut waktu pelaksanaan pemilihan presiden. Fraksi-fraksi besar yang ada di DPR (F-PDIP dan F-PG) menghendaki agar pemilihan presiden dilakukan terpisah (setelah) pemilu legislatif. Sementara fraksi-fraksi kecil di DPR mengusulkan agar pemilihan presiden dilaksanakan serentak alias bersamaan dengan pemilu legilastif.

Mudah ditebak mengapa terjadi polarisasi pendapat seperti itu. Hal itu tidak lepas dari kalkulasi dan kepentingan politik praktis jangka pendek masing-masing dan bukan karena pertimbangan demi kepentingan rakyat jangka panjang yang lebih luas dan mendasar. Keinginan partai-partai besar agar pelaksanaan pemilihan presiden terpisah dengan pemilu legislatif tidak lepas dari target mereka untuk memberlakukan persyaratan bahwa partai yang dapat mengusulkan capres dan cawapres harus mendapat dukungan 20 persen suara dalam pemilu.

Keinginan tersebut diperkuat oleh sikap pemerintah melalui RUU Pilpres yang diusulkan, dimana pada Pasal 5 ayat (4) menyebutkan bahwa usulan pasangan capres dan cawapres hanya dapat dilakukan oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilihan umum (pemilu) anggota DPR yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 20 persen.

Sementara bagi partai-partai yang menghendaki agar pemilihan presiden dilakukan serentak dengan pemilu legislatif berpendapat bahwa pemilihan presiden tidak perlu dikaitkan dengan hasil pemilu legislatif, karena hal itu merupakan dua persoalan yang berbeda.

Kelompok yang menghendaki agar pemilihan presiden dilakukan terpisah dengan pemilu legislatif, sekaligus mengusulkan adanya batas minimal 20 persen suara pemilu bagi partai yang mengusulkan capres dan cawapres dengan dalih bahwa jika presiden tidak memiliki basis dukungan di parlemen akan melahirkan pemerintahan yang labil dan lemah sehingga mudah digoyang. Mereka juga beralasan bahwa penyelenggaraan pemilihan presiden serentak dengan pemilu legislatif akan menimbulkan kesulitan teknis yang luar biasa bagi KPU dan menimbulkan kebingungan tersendiri bagi rakyat pemilih.

Sayangnya mereka kurang fair untuk melihat konsekuensi teknis lainnya seandainya pemilihan presiden terpisah dengan pemilu legislatif. Seperti misalnya, betapa besarnya biaya yang harus dikeluarkan dari anggaran negara untuk penyelenggaraan pemilu yang terpisah di tengah krisis ekonomi dan keuangan negara yang saat ini tak kunjung teratasi.

Jika kedua pemilihan itu dipisah jelas banyak menyedot anaggaran untuk membiayai 2 atau 3 kali pemilihan yang mungkin harus dilakukan, yaitu pemilu legislatif yang direncanakan pada tanggal 5 April 2004, pemilihan presiden putaran pertama, dan pemilihan presiden putaran kedua jika pada putaran pertama tidak menghasilkan calon presiden yang mendapat suara lebih dari 50 persen. Belum lagi jika pemilu lokal untuk memilih gubernur, bupati / walikota nantinya juga benar-benar dilaksanakan. Di samping itu ongkos sosial (social cost) dan psikologis yang timbul juga tidak ringan, karena akan memperpanjang ketegangan politik yang tidak diharapkan.

Upaya untuk mengaitkan peluang pencalonan presiden dan wapres dengan hasil pemilu legislatif adalah tidak sesuai dengan semangat dan teks Amandemen ke III UUD 1945. Pasal 6 A ayat (2) UUD 1945 hanya membatasi antara parpol peserta pemilu dengan parpol bukan peserta pemilu. Pada prinsipnya, jika sebuiah parpol sudah memenuhi persyaratan untuk mengikuti pemilu, maka parpol bersangkutan dapat mengusulkan pasangan capres dan cawapres, sehingga tidak perlu dan tidak ada kaitannya dengan electoral treshold atau kuota 20 persen suara hasil pemilu.

RUU Pilpres makin nampak sarat dengan kalkulasi kepentingan politik praktis dan jangka pendek dari partai-partai ketika ternyata ada upaya strategis untuk melawan syarat kuota 20 persen bagi pengusulan capres dan cawapres. Fraksi-fraksi yang tidak menerima persyaratan kuota suara berdasarkan hasil pemilihan anggota legislatif melihat bahwa menaikkan syarat pendidikan capres dan cawapres yang semula minimal hanya sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) menjadi serendah-rendahnya sarjana (S1) merupakan salah satu cara untuk melakukan bargaining dengan kekuatan pendukung kuota 20 persen.

Di samping itu sebagai upaya melawan keinginan syarat kuota 20 persen bagi pengusulan capres dan cawapres juga dilakukan dengan penambahan kriteria calon presiden dan wapres yaitu tidak dalam status terdakwa dan atau terpidana dalam perkara tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih. Sebenarnya persyararan ini sangat baik dalam rangka menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, hanya patut disayangkan jik hal tersebut muncul demi bargaining politik dan bukan dilandasi oleh keinginan yang tulus.

Perlu diingat bahwa Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 hanya menentukan bahwa persyaratan capres dan cawapres haruslah warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai presiden dan wakil presiden.

Hal mendasar yang harus diperhatikan dalam di sini bahwa penambahan-penambahan syarat capres dan cawapres harus mengacu pada ketentuan konstitusi. Sekalipun pasal 6 ayat (2) UUD 1945 mengatur bahwa syarat-syarat untuk menjadi presiden dan wapres diatur lebih lanjut dalam undang-undang, tetapi pengaturan undang-undang semestinya jangan sampai bertentangan dengan ketentuan yang ada dalam konstitusi, seperti misalnya harus mempunyai pendidikan formal sarjana (S1).

Pada sisi lain, Pasal 6 A ayat (5) UUD 1945 memang membuka peluang bagi pemerintah dan DPR untuk mengatur lebih lanjut pelaksanaan pemilihan presiden dan wapres dalam undang-undang. Namun, aturan tersebut sebatas menyangkut tata cara yang bersifat teknis, dan bukan peraturan yang bersifat substansial.

Ketentuan tentang kuota bagi partai yang mencalonkan capres dan cawapres jelas bukan termasuk tatacara tetapi sudah masuk pada subtansi, sehingga akan bertentangan dengan konstitusi. Selain itu, sesuai dengan semangat pemilihan presiden dan wapres secara langsung (direct presidential election) yang memberikan otoritas penuh kepada rakyat untuk menentukan pilihan, sudah selayaknya jika rakyat diberi peluang untuk memilih tanpa harus terikat dengan kuota suara hasil pemilihan legislatif.

Tidak dapat dipungkiri bahwa calon presiden yang diusulkan oleh partai-partai kecil dan baru sangat mungkin memiliki kualitas moral, intelektual dan manajerial yang jauh lebih baik daripada calon presiden yang diusulkan partai-partai besar. Sementara itu, semua capres yang dimiliki oleh partai besar saat ini hampir sudah diketahui kualitas dan track recordnya oleh rakyat, serta diyakini hanya akan berputar pada tokoh-tokoh yang selama ini sudah tampil pada elit pemerintahan. Ada kecenderungan bahwa kepercayaan publik terhadap para tokoh tersebut nyaris hilang, sehingga sangat diperlukan adanya tokoh pemimpin alternatif yang dapat membawa perubahan dan harapan, sekalipun berasal dari partai kecil dan bukan pemenang pemilu.

Wajar jika muncul praduga bahwa keinginan untuk memberlakukan kuota 20 persen bagi partai yang mencalonkan presiden dan wapres merupakan cermin dari kekhawatiran dan arogansi partai-partai besar yang saat ini menguasai parlemen. Pemberlakukan kuota tersebut tidak lain seabagai upaya untuk mempertahankan kekuasaan pasca pemilu 2004.

Yang patut dicatat, jika keinginan tersebut dipaksakan akan menjadi bom waktu karena tidak memiliki landasan hukum sama sekali. Jika nantinya hal itu digolkan ke dalam UU Pilpres maka UU tersebut memilki cacat hukum karena hal tersebut bertentangan dengan konstitusi, dan sangat mungkin untuk diajukan upaya pembatalan melalui hak uji undang-undang ke Mahkamah Konstitusi. Untuk itu hendaknya pertimbangan kepentingan politik praktis dan sesaat tidak selayaknya menjadi pertimbangan dalam penyusunan RUU Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Dan semua aturan main pemilihan presiden dan wapres hendaknya dikembalikan pada mekanisme yang diatur dalam UUD 1945.

Kentingan, 10 April 2003

Tidak ada komentar: