Selasa, 08 April 2008

MEMACU INVESTASI MELALUI DUKUNGAN REGULASI DAERAH

PENGANTAR

Diundangkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (UU Otonomi Daerah) yang kemudian diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, memberi dimensi baru berupa kewenangan yang lebih luas pada daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya. UU Pemerintahan Daerah, melahirkan paradigma baru dalam penyelenggaraan pemerintah daerah yang mengutamakan pelaksanaan asas desentralisasi, yang di masa sebelumnya dikebiri. Dalam perspektif ekonomi. otonomi daerah merupakan langkah strategis untuk memperkuat basis perekonomian daerah dalam menyongsong era globalisasi ekonomi (Mardiasmo, 2002 : 96. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, Andi, Yogyakarta).

Permasalahan yang timbul adalah bagaimana peluang investasi dan upaya-upaya yang perlu dilakukan pemerintah daerah dengan adanya otonomi tersebut untuk menarik investor (asing maupun domestik) agar dapat lebih mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Namun sayangnya, pelaksanaan otonomi daerah kadang justru banyak menimbulkan ekses negatif pada kegiatan usaha. Pengusaha mengeluh karena semakin banyak pungutan yang tak memiliki landasan hukum yang kuat. Berbagai regulasi berupa peraturan daerah dan peraturan kepala daerah banyak yang tumpang tindih dengan peraturan pusat, misalnya pajak dan retribusi sehingga membebani dunia usaha, di samping praktik korupsi yang hampir merata di seluruh daerah. Sementara pelayanan publik justru cenderung memburuk, dan pembangunan insfrastruktur terkesampingkan.

PELUANG INVESTASI DI ERA OTONOMI DAERAH

Otonomi daerah memberikan kewenangan kepada daerah mengurus dan dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar urusan Pemerintah yang telah ditetapkan oleh undang-undang. Menurut pasal 10 (3) UU No. 32 Tahun 2004 urusan pemerintah pusat (pemerintah) yaitu politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional dan agama. Pemberian otonomi yang luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat.

Besarnya kewenangan daerah ini, berimpliksi pada semakin besarnya beban daerah, baik dalam pengelolaan maupun dalam pembiayaan urusan pemerintahan yang menjadi urusan rumah tangganya. Sedangkan implementasi kewenangan daerah dipengaruhi oleh beberapa aspek antara lain, aspek sumber daya alam, aspek sumber daya manusia, dan aspek kemampuan daerah dalam memperoleh sumberpendapatan daerah termasuk pendapatan asli daerah. Oleh karena itu dalam pelaksanaan otonomi daerah ini, setiap daerah harus secara optimal mencari berbagai alternatif untuk mendapatkan sumber pembiayaan untuk menyelenggarakan urusan pemerintahannya, baik dengan intensifikasi pemanfaatan sumber pendapatan daerah maupun ekstensifikasi (diversifikasi) sumber pendapatan daerah.

Salah satu aspek sumber pendapatan dan pembiayaan daerah yang dipandang prospektif adalah kegiatan yang berkaitan dengan penanaman modal (investasi). Aktifitas penanaman modal di daerah yang sedang berlangsung maupun penanaman modal baru sangat diharapkan menjadi penopang utama pendapatan, pertumbuhan, dan pembangunan ekonomi daerah (Murtir Jeddawi, 2005 : 8. Memacu Investasi di Era Otonomi Daerah,Yogyakarta, UII Press.).

Kehadiran investor menanamkan modalnya di daerah, menjadi sangat penting artinya (Ida Susanti dkk, 2003 : 354. Aspek Hukum Dari Perdagangan Bebas, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti.) :

  1. Kehadiran investor dapat dijadikan counterpart oleh daerah untuk mendayagunakan segenap potensi sumber daya yang dimiliki daerah
  2. Dengan keberhasilan mendayagunakan potensi sumber daya yang dimiliki daerah akan membuka peluang kesempatan kerja yang seluas-luasnya bagi tenaga kerja daerah, sekaligus dapat mengisi sumber ataupun lumbung keuangan daerah, apakah itu berasal dari pungutan pajak, retribusi, dan sebagainya,
  3. Dengan keberhasilan mengisi dan menambah sumber pendapatannya itu, maka daerah dapat memberikan kontribusi ke arah perbaikan dan peningkatan kualitas sumber daya manusianya, termasuk pelayanannya kepada publik, membangun infrastruktur yang diperlukan, membuka kesempatan kerja yang lebih banyak lagi dan sebagainya. Kesemuanya itu diarahkan bagi upaya untuk membangun dan menyejahterakan masyarakat lokal/daerah sesuai tujuan akhir dari otonomi daerah itu sendiri.

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INVESTASI

Terdapat banyak faktor yang dapat mempengaruhi investor dalam menanamkan modalnya di suatu negara. Penanaman modal yang mempunyai tujuan primer untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya (profit oriented) dan tujuan sekunder untuk memproduksi barang, selalu mempertimbangkan berbagai hal sebelum memutuskan untuk berinvestasi. Untuk itu pemerintah harus berusaha memfasilitasi agar tercipta suasana yang baik dan kondusif agar investor tertarik menanamkan modalnya.

Dengan demikian, pemerintah (daerah) perlu memahami hal-hal yang sangat berpengaruh dalam investasi. Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi investasi untuk masuk ke suatu negara antara lain (Rosyidah, 2004 : 166)

  1. Stabilitas politik dan perekonomian yang menunjukkan kestabilan yang mantap baik di tingkat pusat dan daerah,
  2. Kebijakan dan langkah deregulasi dan debirokrasi yang diambil oleh pemerintah pusat dan daerah dalam rangka menggairahkan iklim investasi.
  3. Pembangunan kawasan industri sebagai pasar yang menopang jelas investasi.
  4. Tersedianya sumber daya alam yang berlimpah seperti minyak bumi, gas alam, bahan tambang, pertanian, perikanan, hasil hutan dan sebagainya.
  5. Tersedianya sumber daya manusia dengan ketrampilan dan keahlian dengan upah yang kompetitif. Tenaga buruh yang murah namun tidak memiliki ketrampilan bukan lagi menjadi daya tarik investor asing.
  6. Iklim moneter yang stabil.
  7. Kelonggaran yang diberikan pemerintah di berbagai bidang, misalnya penurunan bea masuk, insentif perpajakan dan sebagainya.

Sementara itu untuk menarik penanaman modal di daerah, ada beberapa kendala yang harus diperhatikan dan sekaligus menjadi tantangan, bila menunjuk kondisi objektif yang dihadapi daerah (Ida Susanti, ibid : 256 ), yaitu :

  1. Bagaimana daerah mampu membangun dan menciptakan iklim yang kondusif yang memungkinkan investor merasa aman untuk menanamkan investasinya di daerah.
  2. Mutu dan kualitas pelayanan aparatur pemerintah daerah terutama yang berkenaan dengan pengurusan izin, yang tidak bertele-tele dan tidak terlampau birokratis.
  3. Kemampuan daerah untuk membangun pemerintahan yang bersih (good governance), terbuka dan transparan.
  4. Kemampuan daerah untuk membangun jaringan infrastruktur yang akan memudahkan lalulintas orang, barang dan jasa.
  5. Kemampuan daerah untuk memberikan jaminan kepastian (hukum ) berusaha bagi investor.

REGULASI DAERAH YANG PRO INVENSTASI

Dalam rangka menarik investor ke daerah, Pemerintah Daerah dapat mengupayakan tahapan –tahapan sebagai berikut (Rosyidah, 2003 : 119. Hukum Penanaman Modal di Indonesia, Malang, Bayumedia Publishing.):

  1. Menggali dan mengidentifikasikan untuk menentukan potensi keunggulan daerah yang bisa ditawarkan kepada investor
  2. Melakukan promosi atau road show ataupun publikasi lain pada industri, terutama investor asing
  3. Menetapkan kebijaksanaan pemerintah daerah dan pengaturan hukum yang mendukung penciptaan iklim kondusif bagi investor
  4. Melakukan penyesuaian kebijakan pemerintah daerah dan pengaturan hukum yang tidak sesuai dengan ketentuan penanaman modal baik internasional maupun nasional.
  5. Mempersiapkan peningkatan sumberdaya manusia, aparat pemerintah daerah dalammemberikan pelayanan yang baik dengan investor.
  6. Mendukung partisipasi aktif masyarakat atau publik pada aktifitas dan pengawasan kegiatan penanaman modal.
  7. Perbaikan dan peningkatan sarana dan prasarana pendukung bagi kelancaran modal.
  8. Perbaikan pelayanan perijinan bagi penanaman modal secara sederhana, cepat, mudah, murah dan memuaskan.
  9. Mengupayakan keamanan, kenyamanan, ketertiban lingkungan agar tercipta iklim murah dan memuaskan,
  10. Mendukung pemberian fasilitas untuk peningkatan sumberdaya masyarakat agar dapat menduduki jabatan strategis dan terjadi alih teknologi.

Untuk memacu investasi di daerah, sekalipun bukan satu-satunya, keberadaan regulasi daerah (Perda dan Perkada) yang mengatur dunia usaha terutama perizinan sebagai sarana pelaksanaan otonomi daerah menjadi sangat urgen.[1] Adalah hal yang keliru jika dalam rangka memacu pendapatan (PAD) daerah membuat banyak regulasi yang membebani dunia usaha misalnya dalam hal perijinan. Karena dengan perijinan yang sulit dan berbelit, biaya tinggi akan menyebabkan investor enggan masuk ke daerah. Padahal dengan mengurangi pendapatan dari perijinan tetapi dapat mengundang banyak investor justru dampak profit ekonomi yang dapat diraih dari kegiatan usaha akan jauh lebih lebih besar.

Penerapan sistem pelayanan perijinan melalui One Stop Service (OSS) bukanlah kunci satu-satunya untuk mengundang investasi. OSS hanyalah sebagian dari upaya penciptaan iklim yang kondusif bagi investasi. Justru yang lebih penting adalah melakukan reformasi regulasi (deregulasi) peraturan yang berlaku yang tidak ramah investasi. Banyaknya regulasi di bidang usaha harus dikaji kembali melalui regulatory impact assesment (RIA)[2].

Tak dapat dipungkiri banyaknya regulasi daerah itu antara lain disebabkan adanya ego sektoral pada setiap dinas yang cenderung ingin mendapat income sebanyak-banyaknya. Masing-masing berupaya mencari pemasukan dengan membuat pungutan retribusi melalui perda-perda yang berlaku, sekalipun seringkali retribusi itu tidak diikiuti adanya kontraprestasi bagi pihak pembayar.[3]

Tujuan regulasi daerah di bidang usaha bukanlah semata untuk meraup pendapatan langsung bagi daerah yang berakibat ekonomi biaya tinggi (high cost) bagi investor. Regulasi dalam bentuk perda dan perkada harus lebih berytujuan untuk melakukan kontrol dan menciptakan keamanan berusaha dengan mempertimbangkan potensi ekonomi, budaya, tenaga kerja, infrastruktur, keuangan daerah, tidak bertentangan dengan peraturan daerah lain, peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum.

Pembuatan regulasi daerah, juga harus memperhatikan berlakunya hukum internasional yang mengatur mengenai hukum investasi sebagai konsekuensi Indonesia sebagai anggota WTO (World Trade Organization) dengan Undang – Undang No. 7 Tahun 1994 tentang pengesahan Agreement Establishing World Trade Organization , dimana dari hasil Putaran Uruguay itu telah memasukkan penanaman modal yang dikaitkannya dengan perdagangan (TRIMs : Trade Related Invesment Measurers) dalam kerangka WTO. Salah satu prinsip yang diatur dalam organisasi perdagangan dunia ini adalah prinsip national treatment, dimana dalam kaitannya dengan penanaman modal, harus ada perlakuan yang sama antara investor dalam negeri dengan investor asing.

PENUTUP

Salah satu aspek sumber pendapatan dan pembiayaan daerah yang dipandang prospektif adalah kegiatan yang berkaitan dengan penanaman modal (investasi). Aktifitas penanaman modal di daerah yang sedang berlangsung maupun penanaman modal baru sangat diharapkan menjadi penopang utama pendapatan, pertumbuhan, dan pembangunan ekonomi daerah untuk menarik investor dapat lebih mendorong pertumbuhan ekonomi daerah.

Jika pemerintah daerah telah bertekad untuk menjadi Surakarta sebagai kota yang ramah dan pro investasi maka reformasi regulasi melalui kegiatan review dan regulatory impact assesment dalam rangka penyederhanaan pengaturan untuk menekan ekonomi biaya tinggi menjadi mutlak untuk dilakukan sebagaimana pengalaman diberbagai negara lain yang telah sukses melakukan hal tersebut. Regulasi daerah yang tepat dan responsive terhadap dunia usaha perlu dibuat dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan sebaiknya bukan sekedar wacana tetapi diwujudkan dengan segera.***



[1] Hasil survai Lembaga Bantuan Teknis Jerman GTZ RED tahun 2005 menunjukkan bahwa regulasi dan perizinan menjadi hambatan utama bagi inventasi, di camping akses pasar, transportasi, akses modal, peralatan (komunikasi), akses informasi, pemecahan masalah dan kerjasama (SOLOPOS, 7 Juni 2006)

[2] Menurut catatan KADIN dan Apindo Solo terdapat 34 peraturan daerah yang mengatur dunia usaha yang perlu dilakukan peninjauan kembali karena memberatkan dunia usaha dan menghambat investasi (SOLOPOS, 29 Juni 2006).

[3] Menurut Apindo Solo salah satunya adalah yang mengatur tentang penarikan retribusi alat pemadam kebakaran, dimana pengusaha yang telah membayar retribusi tidak mendapat kompensasi apapun pemerintah (SOLOPOS, 27 Juni 2006).

Tidak ada komentar: