Sejarah pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia mengalami perjalanan yang cukup panjang dengan dinamikanya yang mengalami pasang surut. Jika dicermati pelaksanaan otonomi atau desentralisasi pemerintahan tidak terlepas dari perkembangan konfigurasi politik yang ada, artinya konfigurasi politik yang ada akan menentukan relasi pemerintah pusat dan daerah. Konfigurasi politik yang otoriter cenderung akan melahirkan relasi pemerintahan yang sentralistik (dekonsentrasi), dan sebaliknya konfigurasi politik yang demokratis cenderung akan melahirkan relasi pemerintahan yang desentralistik (otonomi luas). Bentuk relasi Kekuasaan antara pusat dan daerah berdasarkan perkembangan konfigurasi politik dapat dilihat pada bagan di bawah ini.
Periode | Konfigurasi Politik | Pola Hubungan Kekuasaan | Produk Hukum |
1945-1959 | Demokratis | Otonomi luas, desentralisasi | UUNo.1/1945; UUNo22/1948;UUNo1/ 1957 |
1956-1966 | Otoriter | Sentralistik, dekonsentrasi | PenpresNo.6/1959;UUNo18/1965 |
1966-1969/71 | Demokratis | Otonomi luas, desentralisasi | Tap MPRS No XXI/1966 |
1971-1998 | Otoriter | Sentralistik, dekonsentrasi | Tap MPR No IV/1973;UU No 5/1974; UUNo5/1979 |
1998- sekarang | Menuju demokrasi modern | Menuju otonomi dan desentralisasi luas | TAP MPR No XV/1998;UU No22/1999;UU No 25/1999. UU No. 32 dan 33 Tahun 2004 |
Catatan : perkembangan pengaturan ini, sangat menunjukkan hubungan antara konfigurasi hukum dan politik, dan bentuk pola hubungan kekuasaan yang diterapkan. Pada satu sisi terlihat bahwa suatu (produk) hukum bergantung pada situasi politik. Di sisi lain, dapat dilihat bahwa terjadi suatu proses tarik ulur dalam pengaturan hubungan pusat dan daerah |
Perjalanan otonomi daerah memasuki babak baru dengan disahkannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti UU No. 22 Tahun 1999. Penggantian UU Nomor 22/99 Tentang Pemerintahan Daerah dilakukan karena telah terjadi berbagai perubahan dalam pengaturan ketatanegaraan terutama setelah diamandemennya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan di samping itu diundangkannya berbagai peraturan perundang-undangan baru dalam bidang politik seperti UU Nomor 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik, UU Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu, UU Nomor 22 Tahun 2003 Susduk MPR, DPR,DPD dan DPRD, UU bidang keuangan seperti UU Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, UU Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara dan lain sebagainya. Di samping itu penggantian UU Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah adalah untuk mengatasi kerancuan dan tarik menarik kewenangan antar lembaga dan antar tingkat pemerintahan yang menyebabkan terjadinya counter productive terhadap penyelenggaraan otonomi daerah yang pada gilirannya menghambat kinerja secara keseluruhan.
Dengan berlakunya UU No. 32 Tahun 2004 terjadi perubahan kebijakan penyelenggaraan otonomi daerah yang cukup mendasar. Perubahan tersebut dimaksudkan untuk menyempurnakan berbagai pengaturan dalam UU sebelumnya yang banyak menimbulkan permasalahan karena ketidakjelasan atau mengandung multitafsir di lapangan. Beberapa kebijakan baru di bidang otonomi daerah yang perlu dicermati dideskripsikan di bawah ini.
1. Prinsip-Prinsip Otonomi Daerah
Undang-Undang 32/2004 menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan kecuali yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang (negative list). Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peranserta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggungjawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional.
Seiring dengan prinsip itu penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat.
Selain itu penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamin keserasian hubungan antara Daerah dengan Daerah lainnya, artinya mampu membangun kerjasama antar Daerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antar Daerah. Hal yang tidak kalah pentingnya bahwa otonomi daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antar Daerah dengan Pemerintah, artinya harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah Negara dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan negara.
Agar otonomi daerah dapat dilaksanakan sejalan dengan tujuan yang hendak dicapai, Pemerintah wajib melakukan pembinaan yang berupa pemberian pedoman seperti dalam penelitian, pengembangan, perencanaan dan pengawasan. Di samping itu diberikan pula standar, arahan, bimbingan, pelatihan, supervisi, pengendalian, koordinasi, pemantauan, dan evaluasi. Bersamaan itu Pemerintah wajib memberikan fasilitasi yang berupa pemberian peluang kemudahan, bantuan, dan dorongan kepada daerah agar dalam melaksanakan otonomi dapat dilakukan secara efisien dan efektif sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2. Pembagian Urusan Pemerintahan
Penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dengan daerah otonom. Pembagian urusan pemerintahan tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa selalu terdapat berbagai urusan pemerintahan yang sepenuhnya/tetap menjadi kewenangan Pemerintah. Urusan pemerintahan tersebut menyangkut terjaminnya kelangsungan hidup bangsa dan negara secara keseluruhan. Urusan pemerintahan dimaksud meliputi enam hal : 1) politik luar negeri ; 2) pertahanan; 3) keamanan; 4) moneter; 5) yustisi ; 6) dan agama.
Di samping itu terdapat bagian urusan pemerintah yang bersifat concurrent artinya urusan pemerintahan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama antara Pemerintah dan pemerintah daerah. Dengan demikian setiap urusan yang bersifat concurrent senantiasa ada bagian urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah, ada bagian urusan yang diserahkan kepada Provinsi, dan ada bagian urusan yang diserahkan kepada Kabupaten/Kota.
Urusan yang menjadi kewenangan daerah, meliputi urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan pemerintahan wajib adalah suatu urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar seperti pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasarana lingkungan dasar; sedangkan urusan pemerintahan yang bersifat pilihan terkait erat dengan potensi unggulan dan kekhasan daerah.
Untuk mewujudkan pembagian kewenangan yang concurrent secara proporsional antara Pemerintah, Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten dan Kota maka disusunlah kriteria yang meliputi: eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan mempertimbangkan keserasian hubungan pengelolaan urusan pemerintahan antar tingkat pemerintahan.
· Kriteria eksternalitas adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan dampak/akibat yang ditimbulkan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat lokal, maka urusan pemerintahan tersebut menjadi kewenangan kabupaten/kta, apabila regional menjadi kewenangan provinsi, dan apabila nasional menjadi kewenangan Pemerintah.
· Kriteria akuntabilitas adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan pertimbangan bahwa tingkat pemerintahan yang menangani sesuatu bagian urusan adalah tingkat pemerintahan yang lebih langsung/dekat dengan dampak/akibat dari urusan yang ditangani tersebut. Dengan demikian akuntabilitas penyelenggaraan bagian urusan pemerintahan tersebut kepada masyarakat akan lebih terjamin.
· Kriteria efisiensi adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan tersedianya sumber daya (personil, dana, dan peralatan) untuk mendapatkan ketepatan, kepastian, dan kecepatan hasil yang harus dicapai dalam penyelenggaraan bagian urusan. Artinya apabila suatu bagian urusan dalam penanganannya dipastikan akan lebih berdayaguna dan berhasilguna dilaksanakan oleh daerah Provinsi dan/atau Daerah Kabupaten/Kota dibandingkan apabila ditangani oleh Pemerintah maka bagian urusan tersebut diserahkan kepada Daerah Provinsi dan/atau Daerah Kabupaten/Kota. Sebaliknya apabila suatu bagian urusan akan lebih berdayaguna dan berhasil guna bila ditangani oleh Pemerintah maka bagian urusan tersebut tetap ditangani oleh Pemerintah. Untuk itu pembagian bagian urusan harus disesuaikan dengan memperhatikan ruang lingkup wilayah beroperasinya bagian urusan pemerintahan tersebut. Ukuran dayaguna dan hasilguna tersebut dilihat dari besarnya manfaat yang dirasakan oleh masyarakat dan besar kecilnya resiko yang harus dihadapi.
· Sedangkan yang dimaksud dengan keserasian hubungan yakni bahwa pengelolaan bagian urusan pemerintah yang dikerjakan oleh tingkat pemerintahan yang berbeda, bersifat saling berhubungan (inter-koneksi), saling tergantung (inter-dependensi), dan saling mendukung sebagai satu kesatuan sistem dengan memperhatikan cakupan kemanfaatan.
Pembagian urusan pemerintahan sebagaimana tersebut di atas ditempuh melalui mekanisme penyerahan dan atau pengakuan atas usul Daerah terhadap bagian urusan-urusan pemerintah yang akan diatur dan diurusnya. Berdasarkan usulan tersebut Pemerintah melakukan verifikasi terlebih dahulu sebelum memberikan pengakuan atas bagian urusan-urusan yang akan dilaksanakan oleh Daerah. Terhadap bagian urusan yang saat ini masih menjadi kewenangan Pusat dengan kriteria tersebut dapat diserahkan kepada Daerah. Tugas pembantuan pada dasarnya merupakan keikutsertaan Daerah atau Desa termasuk masyarakatnya atas penugasan atau kuasa dari Pemerintah atau pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah di bidang tertentu.
3. Pemerintahan Daerah
Pemerintahan Daerah adalah pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan daerah yang dilakukan oleh lembaga pemerintahan daerah yaitu Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Kepala Daerah sebagai pimpinan Pemerintah Daerah yang dipilih secara demokratis dan langsung mengingat menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, menyatakan antara lain bahwa DPRD tidak memiliki tugas dan wewenang untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat yang persyaratan dan tata caranya ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat dicalonkan baik oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu yang memperoleh sekurang-kurangnya 15 persen dari jumlah kursi DPRD atau 15 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah bersangkutan (Pasal 59 ayat 2)
Dalam proses pencalonan partai politik atau gabungan partai politik wajib membuka kesempatan seluas-luasnya bagi bakal calon perseorangan (independent) yang memenuhi syarat (Pasal 59 ayat 3). Kepala daerah dan wakil Wakil Kepala Daerah dipilih dalam suatu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
Menurut UU No. 32 tahun 2004 Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) provinsi, kabupaten, dan kota diberikan kewenangan sebagai penyelenggara pemilihan kepala daerah. KPUD yang dimaksud dalam Undang-Undang ini adalah KPUD sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Untuk itu, tidak perlu dibentuk dan ditetapkan KPUD dan keanggotaannya yang baru. Agar penyelengaraan pemilihan dapat berlangsung dengan baik, maka DPRD membentuk panitia pengawas. Kewenangan KPUD provinsi, kabupaten, dan kota dibatasi sampai dengan penetapan calon terpilih dengan Berita Acara yang selanjutnya KPUD menyerahkan kepada DPRD untuk diproses pengusulannya kepada Pemerintah guna mendapatkan pengesahan.
Gubernur sebagai Kepala Daerah Provinsi berfungsi pula selaku wakil Pemerintah di daerah dalam pengertian untuk menjembatani dan memperpendek rentang kendali pelaksanaan tugas dan fungsi Pemerintah termasuk dalam pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan pada strata pemerintahan kabupaten dan kota.
Hubungan antara pemerintah daerah dan DPRD merupakan hubungan kerja yang kedudukannya setara dan bersifat kemitraan. Kedudukan yang setara bermakna bahwa diantara lembaga pemerintahan daerah itu memiliki kedudukan yang sama dan sejajar, artinya tidak saling membawahi. Hal ini tercermin dalam membuat kebijakan daerah berupa Peraturan Daerah. Hubungan kemitraan bermakna bahwa antara Pemerintah Daerah dan DPRD adalah sama-sama mitra sekerja dalam membuat kebijakan daerah untuk melaksanakan otonomi daerah sesuai dengan fungsi masing-masing sehingga antar kedua lembaga itu membangun suatu hubungan kerja yang sifatnya saling mendukung bukan merupakan lawan ataupun pesaing satu sama lain dalam melaksanakan fungsi masing-masing.
4. Perangkat Daerah
Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, kepala daerah dibantu oleh perangkat daerah. Secara umum perangkat daerah terdiri dari :
· Unsur staf yang membantu penyusunan kebijakan dan koordinasi, diwadahi dalam lembaga sekretariat;
· Unsur pendukung tugas kepala daerah dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat spesifik, diwadahi dalam lembaga teknis daerah;
· Unsur pelaksana urusan daerah yang diwadahi dalam lembaga dinas daerah.
Dasar utama penyusunan perangkat daerah dalam bentuk suatu organisasi adalah adanya urusan pemerintahan yang perlu ditangani. Namun tidak berarti bahwa setiap penanganan urusan pemerintahan harus dibentuk ke dalam organisasi tersendiri. Besaran organisasi perangkat daerah sekurang-kurangnya mempertimbangkan faktor kemampuan keuangan; kebutuhan daerah; cakupan tugas yang meliputi sasaran tugas yang harus diwujudkan, jenis dan banyaknya tugas; luas wilayah kerja dan kondisi geografis; jumlah dan kepadatan penduduk; potensi daerah yang bertalian dengan urusan yang akan ditangani; sarana dan prasarana penunjang tugas. Oleh karena itu kebutuhan akan organisasi perangkat daerah bagi masing-masing daerah tidak senantiasa sama atau seragam.
Tata cara atau prosedur, persyaratan, kriteria pembentukan suatu organisasi perangkat daerah ditetapkan dalam peraturan daerah yang mengacu pedoman yang ditetapkan Pemerintah.
Menurut UU No. 32 Tahun 2004, Sekretaris Daerah provinsi diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul gubernur dan Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur atas usul Bupati/Walikota. Sekretaris Daerah karena kedudukannya adalah sebagai pembinaan pegawai negeri sipil di daerahnya.
5. Keuangan Daerah
Penyelenggaraan fungsi pemerintahan daerah akan terlaksana secara optimal apabila penyelenggaraan urusan pemerintahan diikuti dengan pemberian sumber-sumber penerimaan yang cukup kepada daerah, dengan mengacu kepada Undang-Undang tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, dimana besarnya disesuaikan dan diselaraskan dengan pembagian kewenangan antara Pemerintah dan Daerah. Semua sumber keuangan yang melekat pada setiap urusan pemerintah yang diserahkan kepada daerah menjadi sumber keuangan daerah.
Daerah diberikan hak untuk mendapatkan sumber keuangan yang antara lain berupa : kepastian tersedianya pendanaan dari Pemerintah sesuai dengan urusan pemerintah yang diserahkan; kewenangan memungut dan mendayagunakan pajak dan retribusi daerah dan hak untuk mendapatkan bagi hasil dari sumber-sumber daya nasional yang berada di daerah dan dana perimbangan lainnya; hak untuk mengelola kekayaan Daerah dan mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah serta sumber-sumber pembiayaan. Dengan pengaturan tersebut, dalam hal ini pada dasarnya Pemerintah menerapkan prinsip “uang mengikuti fungsi”.
Di dalam Undang-Undang mengenai Keuangan Negara, terdapat penegasan di bidang pengelolaan keuangan, yaitu bahwa kekuasaan pengelolaan keuangan negara adalah sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan; dan kekuasaan pengelolaan keuangan negara dari presiden sebagian diserahkan kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintah daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan. Ketentuan tersebut berimplikasi pada pengaturan pengelolaan keuangan daerah, yaitu bahwa gubernur/bupati/walikota bertanggungjawab atas pengelolaan keuangan daerah sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan daerah. Dengan demikian pengaturan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah melekat dan menjadi satu dengan pengaturan pemerintahan daerah, yaitu dalam Undang-Undang mengenai Pemerintahan Daerah.
6. Pengaturan Tentang Kalurahan dan Desa
Adapun mengenai perubahan dan/atau tambahan substansi mengenai pengaturan Kecamatan, Kelurahan dan desa dalam UU No.32/2004 bila dibandingkan dengan UU Nomor 22 Tahun 1999 meliputi:
- Kecamatan dibentuk diwilayah Kabupaten/Kota yang dipimpin oleh seorang Camat. Camat dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan sebagian wewenang Bupati atau Walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah. Tanpa menunggu pelimpahan wewenang dari Bupati atau Walikota, undang-undang mengamanatkan agar camat menyelenggarakan tugas umum pemerintahan yang meliputi: mengoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat, mengoordinasikan upaya penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum, mengoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan, mengoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum, mengoordinasikan penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan, melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya.
- Kelurahan dibentuk diwilayah kecamatan dan dipimpin oleh seorang lurah. Lurah diangkat oleh Bupati/Walikota atas usul Camat. Lurah dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan sebagian wewenang dari Bupati atau Walikota. Tanpa menunggu pelimpahan wewenang dari Bupati atau Walikota, undang-undang mengamatkan agar Lurah menyelenggarakan tugas; pelaksanaan kegiatan pemerintahan kelurahan, pemberdayaan masyarakat, pelayanan masyarakat, penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum, pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum. Untuk kelancaran pelaksanaan tugas lurah maka di Kelurahan dapat dibentuk lembaga lain sesuai kebutuhan.
- Desa atau yang disebut dengan nama lain selanjutnya disebut Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adapt istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sitem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
- Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Desa mencakup; urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul Desa, urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan Pemerintah Daerah, urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan yang diserahkan kepada Desa. Desa berada di Kabupaten dan Kota.
- Kepala Desa dipilih langsung oleh penduduk Desa bersangkutan. Pemilihan Kepala Desa dalam kesatuan masyarakat hukum adapt beserta hak tradisionalnya berlaku ketentuan hukum adat setempat.
- Sekretaris Desa diisi dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi persyaratan. Sekretaris Desa yang ada selama ini yang bukan PNS secara bertahap diangkat menjadi PNS sesuai peraturan perundang-undangan.
- Masa jabatan kepala desa adalah 6 (enam) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1(satu) kali masa jabatan berikutnya.
- Badan Perwakilan Desa yang ada selama ini berubah menjadi Badan Permusyawaratan Desa atau sebutan lain yang sesuai dengan budaya yang berkembang di Desa bersangkutan. Badan Permusyawaratan Desa berfungsi menetapkan Peraturan Desa bersama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Keanggotaan Badan Permusyawaratan Desa terdiri dari wakil penduduk Desa bersangkutan yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat. Yang dimaksud dengan wakil masyarakat dalam hal ini seperti ketua rukun warga, pemangku adapt dan tokoh masyarakat. Masa jabatan Badan Permusyawaratan Desa 6 (enam) tahun dan dapat dipilih kembali untuk 1(satu) kali masa jabatan berikutnya.
- UU No. 32 Tahun 2004 mendasar mengakui otonomi yang dimiliki oleh Desa dan kepada Desa melalui Pemerintah Desa dapat diberikan penugasan atau pendelegasian dari Pemerintah ataupun Pemda untuk melaksanakan urusan pemerintahan tertentu. Terhadap Desa diluar Desa gineologis yaitu Desa yang bersifat administrative, otonomi Desa diberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang mengikuti dari perkembangan dari Desa itu sendiri. \
- Kepala Desa pada dasarnya bertanggungjawab kepada rakyat Desa yang prosedur pertanggungjawabannya disampaikan kepada Bupati atau Walikota melalui Camat. Kepada Badan Permusyawaratan Desa, Kepala Desa wajib memberikan keterangan laporan pertanggungjawaban dan kepada rakyat menyampaikan informasi pokok-pokok pertanggungjawabannya, namun tetap memberi peluang kepada masyarakat melalui Badan Permusyawaratan Desa untuk menanyakan dan/atau meminta keterangan lebih lanjut hal-hal yang bertalian dengan pertanggungjawaban dimaksud.
7. Legislasi Daerah
Penyelenggara pemerintahan daerah dalam melaksanakan tugas, wewenang, kewajiban, dan tanggungjawabnya serta atas kuasa peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat menetapkan kebijakan daerah yang dirumuskan dalam legislasi daerah antara lain dalam bentuk peraturan daerah, peraturan kepala daerah, dan ketentuan daerah lainnya. Kebijakan daerah dimaksud tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum serta peraturan Daerah lain. Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah.
Sesuai dengan Pasal 5 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, maka pembentukan Perda berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang meliputi: a. kejelasan tujuan; b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan; d. dapat dilaksanakan; e. kedayagunaan dan kehasilgunaan; f. kejelasan rumusan; dan g. keterbukaan.
Sedangkan materi muatan Perda mengandung asas : a. pengayoman; b. kemanusiaan; c. kebangsaan; d. kekeluargaan; e. kenusantaraan; f. bhineka tunggal ika; g. keadilan; h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau; j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan Perda.
Apabila dalam satu masa sidang, DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota menyampaikan rancangan Perda mengenai materi yang sama maka yang dibahas adalah rancangan Perda yang disampaikan oleh DPRD, sedangkan rancangan Perda yang disampaikan Gubernur atau Bupati/Walikota digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan.
Peraturan daerah dibuat oleh DPRD bersama-sama Pemerintah Daerah, artinya prakarsa dapat berasal dari DPRD maupun dari Pemerintah Daerah. Khusus peraturan daerah tentang APBD rancangannya disiapkan oleh Pemerintah Daerah yang telah mencakup keuangan DPRD, untuk dibahas bersama DPRD. Peraturan daerah dan ketentuan daerah lainnya yang bersifat mengatur (regeling) diundangkan dengan menempatkannya dalam Lembaran Daerah. Perda ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD.
Rancangan Perda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada Gubernur atau Bupati/Walikota untuk ditetapkan sebagai Perda. Penyampaian rancangan Perda sebagaimana dimaksud dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. Rancangan Perda ditetapkan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak rancangan tersebut disetujui bersama. Dalam hal rancangan Perda tidak ditetapkan Gubernur atau Bupati/Walikota dalam waktu terserbut rancangan Perda tersebut sah menjadi Perda dan wajib diundangkan dengan memuatnya dalam lembaran daerah.
8. Pengawasan Terhadap Produk Legislasi Daerah
Pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah upaya yang dilakukan oleh Pemerintah dan atau Gubernur selaku Wakil Pemerintah di Daerah untuk mewujudkan tercapainya tujuan penyelenggaraan otonomi daerah. Dalam rangka pembinaan oleh Pemerintah, Menteri dan Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen melakukan pembinaan sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing yang dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri untuk pembinaan dan pengawasan provinsi serta oleh gubernur untuk pembinaan dan pengawasan kabupaten/kota.
Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah proses kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar pemerintah daerah berjalan sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Obyek pengawasan yang dilaksanakan oleh Pemerintah terkait dengan penyelenggaraan urusan pemerintahan dan utamanya terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah. Istilah peraturan kepala daerah tidak dikenal dalam UU No. 22/1999, karena dalam pasal 22 UU tersebut hanya dikenal adanya keputusan kepala daerah (bisa bersifat regeling atau beschikking). Dalam hal pengawasan terhadap rancangan peraturan daerah dan peraturan kepala daera oleh, Pemerintah dilakukan dengan 2 (dua) cara sebagai berikut :
a) Pengawasan terhadap rancangan peraturan daerah (RAPERDA), yaitu terhadap rancangan peraturan daerah yang mengatur pajak daerah, retribusi daerah, APBD, dan RUTR sebelum disahkan oleh kepala daerah terlebih dahulu dievaluasi oleh Menteri Dalam Negeri untuk Raperda provinsi, dan oleh Gubernur terhadap Raperda kabupaten/kota. Mekanisme ini dilakukan agar pengaturan tentang hal-hal tersebut dapat mencapai daya guna dan hasil guna yang optimal.
b) Pengawasan terhadap semua peraturan daerah di luar yang termasuk dalam angka 1, yaitu setiap peraturan daerah wajib disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk provinsi dan Gubernur untuk kabupaten/kota untuk memperoleh klarifikasi paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan.. Terhadap peraturan daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan yang lebih tinggi dapat dibatalkan sesuai mekanisme yang berlaku.
Keputusan pembatalan Perda ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Perda. Paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan pembatalan perda tersebut kepala daerah harus memberhentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD bersama kepala daerah mencabut Perda dimaksud. Apabila provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, kepala daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung. Apabila keberatan terhadap pembatalan perda tersebut dikabulkan sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Apabila Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan Perda tersebuit, maka Perda dimaksud dinyatakan berlaku.***